Selasa, 16 Maret 2010

Gerimis di Kantung Mata

sekali du kali menyisir gelisah
pada risau anak dara dalam buaian ayah
mendung mega siratkan resah
menilik riak adakah merayu rupa

semu

dalam negeri jiwa-jiwa terserak
satu dibabat seribu merambat
teriak anak-anak memekak
tangis merebak
membanjiri

merah menjilat-jilat udara sekitar
malam pekat tak lagi gelap
segenap raga tak berjiwa
berhamburan
berteriak lantang tak beraturan

pecah

bumi getar, alam muntah
segala ruah, dada debar
tak sadar ragaku ikut kumpulan
tak sanggup teriak, hanya nafas
tak beraturan

mau kemana langkah
sampai lemah lelah
tak ada liang tuk merebah

hanya gerimis di kantung mata
di depan dua gerbang
pun masih terkunci

:apa harus pergi dulu ke neraka dan surga untuk tahu bahwa saat ini sudah terlambat untuk kembali

Tak Berjudul, Untukmu

tak jua kau merapal
sisa-sisa derita bengal
entah pupus atau harus kusemai kembali
segala butir yang masih tersimpan rapi di sudut gigil
ada gelak kala kudengar geli
mungkin hati sudah terkait kail

:kala ku sadar di mega kau lukiskan kembali angan yang terhalang ribuan pagi

Satu-Tiga

Satu-Tiga
takkan bisa memadu rasa
sama-sama menanak duka
itu kutuk, kata bunda
sedang kau tutup telinga dan mata

semula angin berlalu tak meninggalkan jejak
lantas kembali mengobrak-abrik tanak
jangan sampai kau beranak
atau sesak kuliti beranak

Satu-Tiga
harusnya kau putuskan rantai itu
sedepa langkah yang lalu

o, waktu, binasakan saja arahmu!

Sungguh, Ini Bukan Basa-Basi

: Pada rahim malam hamba mengadu

jejak hamba menimang bulan
dalam rantauan selaksa kisah
sejak jaka meminang puan
sedalam tuaian membuai resah
membual desah

oh, lara yang tiada berujung
sempurnalah mati dalam hidup
detik-detik rekat bagai pekat yang pecah
semburat sinar rembulan
dingin menusuk jantung hati hamba
hangat pun tak sudi menyulam tiap detaknya

mengiba hamba padamu, rahim malam
ke manakah tuan yang menggaris semesta
menggambar peta titik-titik nista
buta hamba tak terarah
timangan hamba terasa memikul badai
goyah di tiap ketukan kaki

ke manakah tuan yang meniup sukma
hirup satu-satu rasa hambar
sempurnalah hidup selubung mati
ini raga tak kenal jiwa
ini jiwa tak sapa raga

oh, lara yang tiada berujung
menimang bulan
menapak kisah
mencari tuan empunya kasih

telan aku bulat-bulat kembali ke rahimmu, malam
kurasa tlah bersemayam dalam gelapmu
kn kukembalikan bulan milikmu
berikan tuan kembali ke pelukku

Minggu, 14 Maret 2010

Sebait Janji yang (mungkin) Terwujud

: kau yang merasa mencuriku

ladangku berteriak ingin dibajak
ini tanda setujuku, materai dan lingkar di kiri telah kutanggalkan
sabit di langit menjadi saksi derai
Bilakah nafasmu mematri gulanaku?

Yang Datang Setelah Kepergianmu

:Sesaat setelah kau berlalu dan cahaya itu hilang dari genggam tanganku

sendiri ku di bawah payung wan mendung lalu
gemuruh suara kudengar gegap gempita
dari mulut langit
hatiku seketika terlonjak dari kediamannya
gigil mendera begitu hebat
taufan dan tetes air menghujaniku
teramat dahsyat

menghampiri aku kala aku lelah
susah payah menggenggam(nya)
lalu hilang bersama kepergian kekasih duniaku
sungguh datang dari sebelah utara, atau selatan
entah..
tiba-tiba merangkulku
siapakah aku ini hingga dilingkupi aku
dengan teduh pelukan
tak peduli betapa kotornya aku berkubang
jiwaku yang lesu dan mengidap kerontangan disegarkan
aku pulih

-cahaya ini nyata-
sukmaku bergetar

Yang Hilang Bersama Kepergianmu

: seseorang

Kanda yang menunjuk ke arahku
ini waktuku
Aha... beranjak aku padamu

Kubawa Tuhan di saku kananku
kau memintaku untuk mencarinya
di kolong-kolong mendung
sejak perpisahan kita, detik yang retak itu

ini kau, kanda
Tuhan kini ada dalam genggaman tangan kecilku
tersodor dengan gemetar ke wajahmu

mengapa berpaling, kanda?
susah payah aku mencari Tuhan
kubawa padamu
kini kau palingkan wajahmu dariku
-dari tangan yang menggenggam Tuhan-
Tuhan pun lenyap bersama dirimu
yang tiba-tiba menjauh dariku

Tentang Selembar Kertas yang Sudah Penuh

: seseorang

Bilang padanya, aku tak pernah mencintainya, begitu juga kau. Bahwa aku hanyalah selembar kertas yang cukup kau corat-coret dengan pena tinta merah, semerah darah hatiku. Selembar kertas. Tidak lebih. Tidak kurang

Yang sudah penuh, yang tak bisa lagi dibaca, atau bahkan diraba apa yang tertuang. Lembar depan dan lembar belakang. Coba kau lihat. Masih adakah ruang untuk kau tinggalkan setitik lagi tintamu?

Tak ada lembar lain untukmu...

Mungkin dia???

Jelang Petang

ceracap berdenting berdentang
menghantar beragam karang bunga berkalung petang
di ujung pedang
darah tak terhalang turun ke liang

pada hamba tuan tuan bertandang
segenap luruh harap terbentang
bergegaslah tuan tuan hengkang
singgasanaku luang raja berpulang
pun hati tetap berpalang

hamba bukan dara jalang!

Senin, 08 Maret 2010

Elegi Ketan Hitam

Aku muncul tiba-tiba
dalam bedengan tanam kamu dan dia
tiada salahku terhadir di antara rerumpunmu
pun tak mengapa dirimu
rengkuhkan dahanmu padaku
ketan hitam, manis, memabukkan

mereka datang mencariku
sembunyi aku di antara bayang dirinya
terlanjur cinta
jangan biarkan aku tersisih

ah... tetap kamu di sana
kau tak peduli lagi
lepas ajiranmu dariku
bayangnya sudah bergeser
tak bisa lagi tuk sembunyi

baiknya kutampakkan saja diriku
merela diri hadapi jika dipilah

(mem)batu

sekali lagi batu
begitu keras di lembutnya sapamu
tetap padat di luangnya waktu
salah sendiri sihir cinta
aku terpanah tapi tak tergoda

penuh. liat bak bejana kau bentuk
segala rupa berat ringan besar kecil
meledak-ledak pada kebekuan
percik-percik air tak mampu cairkan

tetap membatu.

Galau Rerindu

belaian dingin bayu pagi di wajahku
suguhkan imaji
gemulai pepikir saat kedua mata terpejam
melodi fajar meliuk-liukkan bayang-bayang dirimu
dalam khayal yang selalu mengikutiku
ikut menari tarian rindu pada dirimu
bergelut dalam pekat mencari cahaya
sejak melam mengikatmu hening

-tak ada aku di sana-

Tentang Keping Hati

Suatu Masa
: malaikatku, penakluk hatiku
Kau datang saat aku tengah berkemas
memilah dan memilih musim yang akan ujelang
kau datang bersama angin
tapi tak kurasa hembusannya

melumat waktu
itu yang kau lakukan, lembut
pun detik terhenti''kita bergelora
beradu dalam kesementaraan waktu

ia-mu, seketika
menarikmu dariku
tinggalkan aku dalam labirin tak berpintu
tergugu ku?
pada waktu yang terbahak menertawakanku
bebas dari detik yang terhenti
kisi waktu tak bercelah
mengapa jeda itu pisahkan dua hasrat
dan hei,
mengapa dadaku bolong, terasa nafas sang angin
sekejap mata mencari dirimu,
bukan, bayangmu tepatnya

tak bisa ku menahan tawa dan air mataku
hatiku kaubawa di tangan kananmu
sementara tangan kirimu ditarik pasungnya

guling-guling ku terbahak dan menangis
gelepar di antara jiwa yang sedang gila
merana

seperti itulah aku ketika kau tak lagi di sisi
mengenalmu adalah anugerah dalam setiap hela nafas baruk
tak ada kekuatan apapun yang bisa menyalahkan hatimu dan hatiku untuk bersatu
tidak juga ia yang telah lebih dulu mentahtakan dirimu di singgasana hatinya

kau penakluk hatiku
begitulah nyata
dalam setiap detik waktu bergulir
kaulah orangnya

namun tak lagi begitu
kini tetap semua berjalan
sediakala
kau dengannya
aku tetap sendiri

memang tak ada yang bisa menebak akhir dari rancanganNya bukan?
meski kita berkilah sembunyi dariNya
tetaplah Ia tuntun kita ke jalan yang seharusnya kita jalani
dan tentu Dia tetap menyatukan kita dengan kasihNya bukan
melebihi apapun

maaf bila aku tak bisa datang
tidak, bukan karena aku tak kuat
namun, dia takkan senang melihat wajahku
yang katamu seperti malaikat ini, di sana

wajar

kebencian telah mendarah daging di nadinya
meski beribu maaf aku haturkan
takkan luluh hatinya untuk berjabat tangan denganku

tidak...
berhantilah menyalahkan diri sendiri
masih? Menyesali telah membuatku jauh ke dalam lorong hatimu dan kehidupannya?
sudahlah, takkan berhasil mengubah keadaan
bukankah hasilnya hati kita telah menyatu
meski bukan raga kita yang berpadu?
tidakkah kau senang dengan kenyataan ini

tiada yang athu akan hari esok
namun tak ada yang salah jika kita tetap berbagi kasih
kasih yang tulus
ikhlas

kau... penakluk hatiku
tak ada yang bisa kuberi sebagai kado untukmu
doa adalah kado terbesar bukan?
bersama berlaksa-laksa malaikat di atas sana
aku akan selalu mendoakanmu (dan dia)
kembali merajut kasih yang hanya dari Dia
selalu berbahagia...

karena di sini aku
juga selalu berbaagia...
demi dirimu

meski emang perih,
tak apa....

Senin, 15 Februari 2010

Harmoni Cinta - Gita Gutawa

Ada yang bergerak di dalam dadaku ini
Seperti ku kenal pernah kurasakan
Waktu aku jatuh cinta
Waktu hatiku tertarik
Rasanya pun begini
Jatuh cinta

Apakah ini sama seperti yang itu
Hatiku bergerak
Aku jatuh cinta
Dinding hatiku berlagu
Harmoni cinta menyentuh
Pipiku pun merona
Jatuh cinta

Harmoni cintaku kini datang
Nyanyikan suara hatiku
Berlagu penuh cinta

Selasa, 26 Januari 2010

Engkau Tak Lahir dari Rahim Serigala

Tidak seperti biasanya, Ibu selalu mematikan televisi setiap mata kami asyik menikmati kelebatan gambar dan suara yang merampas perhatian. Ruang tengah yang semula hidup mendadak padam. Kami pun saling memandang.
“Perut kalian tidak akan kenyng karena pidato itu,” wajah Ibu sedikit tegang.
“Iya, tapi ini pdato penting. Pk Menteri sedang menjelaskan kenapa harga BBM dan sembako naik,” aku mencoba menghidupkan televisi, tapi dengan cepat Ibu merampas remote control.
“Lebih baik kamu antre minyak di kelurahan!” Ibu menyodorkan uang dan kartu pengambil jatah. “Kita punya jatah tiga lima liter,” pandangan Ibu yang nanar menuntunku untuk keluar rumah sambil menenteng jerigen.
Hanya sekali itu Ibu melarang kami nonton televisi. Rupanya larangan itu pertama sekaligus terakhir. Sejak saat itu, kami tak tahu kemana televisi kami raib. Sokra, adikku, bilang, televisi 14 inci itu sedang “disekolahkan” di tempat Ibu Mantri Suntik.
“Ternyata, tidak hanya manusia yang bodoh. Televisi pun juga bisa tolol,” gurauku.
“Nanti kalau Ibu dapat pinjaman dari Bu Kadar pasti televisi itu kembali “pintar” dan kta bisa nonton sepak bola atau para pejabat yang hobinya melawak,” ujar Sokra dengan wajah beku.
“Untuk menjadikan televisi itu kembali “pintar” Ibu harus menebus berapa?”
“Saya dengar lima ratus ribu. Belum ditambah dengan bunganya.”
Aku geleng-geleng kepala mendengar jumlah yang cukup fantastis itu untuk ukuran kantung keluarga kami yang cekak. Dan, aku tak mampu membayangkan bagaimana usaha Ibu, yang tak kalah fantastisnya, untuk mendapatkan uang sebesar itu. Pinjam Bu Kadar? Bukankah utang Ibu sudah belasan juta?
“Aku dengar Ibu mau mengiris tanah halaman belakang rumah. Sudah ada yang menawar tiga ratus ribu per meter. Tapi, Ibu minta empat ratus ribu.”
Kepalaku terasa berat. Ucapan Sokra menjelma menjadi ledakan di tempurung kepalaku. Terbayang di benakku, hamparan tanah ratusan meter persegi itu teriris dan terlipat, seiring dengan pohon-pohon nangka, mangga, dan melinjo yang menjerit digorok gergaji mesin. Mereka tumbang secara slow motion. Berderak-derak. Lalu, sepasukan kuli bangunan menghajar tanah kami itu dengan pacul, membuat lubang panjang untuk fondasi. Truk-truk hilir-mudik menumpahkan batu, pasir, dan kapur: Deru molen yang mengaduk semen dan pasir serta kapur mengebor gendang telinga kami. Orang-orang kerja berhari-hari, dengan kulit berkilat-kilat penuh keringat, menata batu-bata demi batu-bata. Mendadak mataku terasa perih terganjal bayangan buruk itu.
“Harta kita tinggal tanah,” ujar Ibu setengah bergetar. Kulihat tatapan matanya tetap tenang, meskipun kurasakan Ibu berusaha keras menahan air matanya. Kulihat tangannya yang keriput tekun mengaduk adonan gandum untuk dibuat donat.
“Tapi, bukankah Ibu bisa minta tolong Mas Jaswadi, Mas Eko, Mbak Menik, atau Mas Jalu. Mereka tidak akan miskin hanya karena memberi bantuan Ibu. Duit lima puluh juta sampai tujuh puluh lima juta tak berarti apa-apa bagi mereka.”
“Minta uang mereka?” Ibu menggelengkan kepala. “Aku tidak akan membebani mereka. Aku merasa tak berhak menikmati kesuksesan mereka, meskipun aku ni ibunya. Tak pernah terpikir aku menagih jasa atas seluruh pengorbananku. Aku adalah ibu, bukan orang yang menyewakan rahim bagi anak-anaknya…”
“Iya, tapi mestinya mereka bisa memahami penderitaan Ibu.”
“Untuk apa? Apalagi aku merasa tidak sedang menderita.”
“Tapi, bukankah Ibu harus mengiris tanah?”
“Itu bukan penderitaan Cah Bagus. Bukan. Tapi, pengorbanan demi kebahagiaan kita bersama. Setidaknya bagi aku, yang merasa sangat bahagia melihat kamu dan adik-adikmu tumbuh mekar, berkembang dan mampu membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kiri,” Ibu menghentikn tangannya mengaduk adonan gandum. “Kau paham, Cah Bagus?”
Aku terdiam. Tatapan Ibu menikam rongga dadaku.
“Aku berharap, hidupmu dan adik-adikmu selamat. Tidak menjadi orang culas yang sibuk menanam tebu di mulutnya, hanya untuk menutupi taring-taring yang berkiat-kilat setiap melihat urat leher orang lain. Atau, menjadi orang yang tega bertahta di atas tumpukan pangkatnya sambil tertawa cengengesan, sementara begitu banyak orang hanya mampu membayangkan rasa kenyang. Kamu dan adik-adikmu tidak lahir dari rahim serigala…” mata Ibu tampak sembab. Aku menjadi tidak tega untuk mencecar Ibu soal keputusannya mengiris tanah. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Ibu, yang menyusun bulatan demi bulatan gandum seperti menyusun impian-impiannya, sebelum akhirnya diceburkan ke dalam wajan penggorengan. Beberapa saat kemudian menguap bau sedap. Aku mencium bau donat-donat itu seperti mencium harum penderitaan Ibu.
Lewat bulatan-bulatan khas kampung itulah Ibu menyusun serpihan-serpihan impiannya menjadi sarang hangat bagi keluarga. Ibu tak peduli sarang kehangatan itu berpahatan lubang-lubang yang begitu gampang diterobos angin kencang. Bulatan-bulatan donat itu memang menghasilkan keuntungan yang tidak begitu besar. Cukup sekadar untuk makan dan biaya sekolah. Tapi, Ibu bukan jenis orang yang terdidik menjad rakus, misalnya tanpa rasa bersalah menipu pelanggan.
Pernah, Ibu tersinggung ketika salah seorang adiknya, Om Narto, menyuruhnya berhenti menjual donat-donat itu, meskipun Om Narto, yang menjadi anggota DPR itu sanggup memberikan uang “pensiun” kepada Ibu. Apa boleh buat, bulatan-bulatan donat telah menjadi dunia Ibu. Di situ berleleran tetesan kebahagiaan yang mampu mengusir kesepian pada usia senjanya. Ya, Ibu sangat kukuh menggengam dunia donat itu, sejak ayah meninggal lima tahun lalu karena serangan stroke. Sepeninggal Ayah –yang hanya mewariskan uang pensiunan seorang guru yang tidak terlalu besar- Ibu membajak waktu, bergumul dengan adonan gandum, didih minyak goring, kepulan asap, kocokan telur, simbah peluh, dan rasa lelah yang merampas tubuhnya. Ia menitipkan donat-donat itu di warung-warung kampung, dan akhirnya berkembang ke took-toko. Donat Ibu terkenal enak.

Lewat Kang Marto Bulus, makelar tanah yang mulutnya licin itu, karena setiap hari berkumur minyak pelumas, sebagian tanah kami jatuh ke tangan Pak Bei, peternak ayam potong yang punya puluhan karyawan. Pak Bei, yang bisa dibilang menggenggam seluruh jaringan perdagangan ayam potong di kota kami, tidak menawar harga yang disodorkan Ibu. Tanah seluas 500 meter persegi pun terlipat.
Sejak tanah itu dibangun, kami disiksa hangar-bingar mesin pengaduk semen atau hantaman palu, pacul dan martil yang berdebam-debam. Belum lagi ucapan kasar para pekerja bangunan yang selalu menggoda Arum, adikku yang tengah mekar di balik blus seragam sekolahnya. Ucapan-ucapa mereka tidak lagi gurauan, tapi sudah menjurus ke pelecehan. Darahku yang mendidih membimbing tanganku untuk menampar mulut para kuli kasar itu. Tapi, Ibu mredakan amarahku, “biarkan saja. Kamu dan adikmu tidak menjadi lebih gagah hanya karena mulut mereka kamu tampar.”
“Tapi, mereka akan semakin kurang ajar!”
“Nah, kalau sudah begitu, kamu berhak menampar harga diri mereka dengan ucapan yang halus.”
“Bagaimanpun aku ini laki-laki, Bu! Aku punya tangan dan kaki!”
Ibu memandangku sambil menggelengkan kepala. Tatapannya dalam. “Aku akan menemui Pak Bei untuk menegur para pekerja itu. Atau kalau perlu kita tuntut mereka,” ujarnya pelan, tandas, namun tetap dengan senyum setengah mengembang.
Senyum itu membuka peluang bagiku untuk minta uang. Keinginan itu sudah lama kutahan. Apalagi Ibu baru saja menerima pelunasan uang penjualan tanah dari Pak Bei. Telah lama aku memimpikan sepeda motor besar seperti yang sering diiklankan di teve, yang terus-menerus merongrong tabunganku.
“Ibu tinggal menambah tujuh juta,” ujarku sambi membantu Ibu mengaduk adonan gandum.
Untuk apa motor besar itu? Kamu ingin memboncengkan pacarmu seperti dlam film-film teve yang membosankan itu?”
“Bukan soal itu. Tapi, aku memang butuh kendaraan. Mosok aku pakai motor bebek yang sudah butut itu?”
“Tapi, itu tinggalan bapakmu. Kamu harus rajin merawatnya.”
“Iya…tapi…aku sangat ingin…”
“Kamu jangan mimpi. Uang hasil penjualan tanah kita sebagian besar sudah kukirim kepada kakakmu Jaswadi. Katanya, bisnis barang antiknya hancur, ditipu makelar dari luar negeri. Dia rugi ratusan juta…”
Kepalaku terasa bepusing-pusing dan pecah. Muncul wajah si benalu Jaswadi, yang membuat aku muntah. Kuhajar, kutonjok, kucabik dan kucakar wajah itu dalam erangan kemarahanku.
“Kamu tak perlu marah. Kalian semua anak Ibu. Kalau Jaswadi butuh bantuan dan aku mampu, kenapa tidak kubantu?” Ibu masih berucap dengan suara emasnya, yang kini membuat aku mulai bosan mendengarnya.
“Mestinya Mas Jas bisa menjual mobilnya yang jumlahnya sampai tiga. Atau menjual rumahnya di Pondok Indah, Cinere, atau di Matraman. Tidak malah…”
“Kalau kamu masih ngotot ingin motor besar itu, Ibu bisa memenuhi. Tanah di samping rumah kita masih cukup luas untuk diiris. Kamu mau?”
Dadaku mendadak sesak. Dengan perasaan berat kugelengkan kepala. Tangan Ibu meraih kepalaku mengelus-elus seperti mengusap kepala bayi yang sedang merengek di pelukannya. Kurasakan tetesan air mata hangat Ibu membasahi keningku.
“Aku hanya ingin Jaswadi selamat. Dan tetap mampu membedakan mana tangan kiri dan tangan kanannya…” bisik Ibu.
“Tapi, perhatian Ibu yang berlebihan justru tidak mendidik Mas Jas.”
“Tapi aku yakin, kangmas-mu sudah sangat terpukul dengan pemberian Ibu. Percayalah, dia masih punya harga diri, dan ingat jika aku harus membesarkan dan menyekolahkan kamu dan adik-adikmu…”

Sepulang dari kuliah aku dikejutkan oleh kedatangan seorang tamu yang duduk di beranda. Aku langsung menemui Ibu yang sedang membuatkan minuman untuk tamu itu. Katanya tamu itu dari Glodok.
“Jadi, tanah samping rumah tetap Ibu jual?”
Ibu mengangguk sambil terus mengaduk minuman.
“Untuk apa?”
“Kakakmu, Menik, mau buka usaha periklanan. Dia butuh modal besar. Katanya untuk membeli kamera, mesin editing, aahhh entah…”
Kepalaku kembali berputar-putar. Tak paham, kenapa kakak-kakakku mendadak menjelma menjadi serigala yang tega mengoyak dada induknya sendiri.

Bidang demi bdang tanah kami lepas, melayang dan terlipat di saku kakak-kakakku. Aku kembali tak paham, kenapa orang-orang yang merasa mampu hidup mandiri ternyata rapuh, dan harus membiayai citra kemandirian itu dengan menjadi benalu bagi Ibu, sang pohon tua.
“Harta kita tinggal tanah. Kalau kamu iri kepada kakak-kakakmu, aku mau mengiris sebagian tanah itu untuk kamu. Halaman depan rumah kita masih luas. Kita bisa menjualnya kapan saja,” suara Ibu terdengar terisak.
Aku terdiam. Berdiri bagai patung es yang terus meneteskan kesedihan, keharuan, tapi juga kejengkelan dan kemuakan kepada para benalu yang tidak tahu malu itu.
“Kalau ternyata nanti Mas Jalu juga ingin jatah tanah, apakah Ibu juga akan memenuhinya?”
Ibu mengangguk.
“Kalau nanti Mbak Tuning juga minta, Ibu akan memenuhinya?”
Ibu mengangguk, “Kalau toh kamu juga meminta, aku juga akan mengangguk.”
Ucapan Ibu kembali menikam rongga dadaku.
“Saya kira sudah saatnya Ibu istirahat, menikmati sisa hidup. Tak perlu memikirkan anak-anak Ibu yang selalu bikin repot,” kucoba menghalau rasa galau Ibu.
Tapi, seperti biasanya, Ibu hanya menggeleng,”Mungkin kamu menganggap aku ini lebih celaka dari induk ayam, yang punya batasan waktu untuk nyapih anak-anaknya. Namun, aku tak pernah merasa menjadi Ibu yang celaka. Aku sangat bahagia. Bahkan, ketika aku harus kembali mengiris tanah untuk kakakmu Eko, yang ingin buka usaha sejak ia dipecat dari pekerjaannya. Aku hanya ingin keluarga besar kita rukun dan hidup selamat. Dan mampu membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kirinya.”
Ibu beranjak ke dapur, meninggalkan aku sendirian di ruang tengah. Beberapa saat kemudian bau sedap gorengan donat menguar menguasai ruangan. Aku mencium bau harum penderitaan Ibu. Entah sampai kapan Ibu bisa bertahan…

Ziarah Arwah-arwah Bayi

Perempuan itu lebih mencintai malam ketimbang siang. Malam memberinya keheningan, tempat ia menyusun rencana pertemuan dengan arwah-arwah bayinya. Demi arwah-arwah bayinya, ia ingin menjadi laba-laba yang setia membangun sarang dengan sulur-sulur lendirnya. Laba-laba itu tak pernah peduli pada angin yang mendadak melabrak dan memporak-porandakan sarangnya. Laba-laba itu akan menyusunnya kembali: seinci demi seinci sulur-sulur lendirnya dibentangkan di antara pojok tembok dengan langit-langit rumah, atau di antara ranting-ranting yang menuding ke langit.
Hidup ini, pikir perempuan itu, memang sarat rencana karena manusia telah dijebak impian. Dijebak? Ah, juga tidak, bantah perempuan itu. Lewat impian, permpuan itu merasa leluasa mengulur-ulur harapan. Dan, ia sangat percaya pada harapan, yang membuatnya mampu bertahan hidup dengan semangat cinta. Ketika cinta itu menggetarkan hatinya, yang terbayang adalah bayi-bayi kecil, puluhan jumlahnya, yang saling berebut puting susunya yang penuh dan padat. Air susunya akan menderas, sederas cintanya pada bayi-bayi mungil yang berjejal-jejal dalam benaknya. Bayi-bayi mungil itu memang tidak pernah dilahirkannya, namun ia measa mengasuh mereka.
Perempuan itu tidak pernah merasa lelah menyunggi impian, sambil menguntai manik-manik kekecewaan yang terkalung dan menjerat lehernya. Tetapi, anehnya, pikir perempuan itu, dirinya idak serta-merta binasa karena didera rasa kecewa. Kekecewaan dan rontoknya rencana telah diubahnya menjadi untaian kenangan dan pelajaran yang mampu memberi darah baginya.
Perempuan itu tidak tahu pasti berapa kali kekecewaan yang menjelma menjadi belati itu menikam-nikam lambungnya, menikam-nikam ulu hatinya. Ya, yang ia rasakan hanyalah rasa nyeri yang mengebor sukmanya. Jika rasa nyeri itu tiba, ia hanya berharap kepada malam untuk memberikan keheningan. Di kolam keheningan itu, ia membasuh luka-luka. Ia tak pernah paham, kenapa malam selalu memberinya aliran tenaga, yang kadang terasa gaib dan embikin seluruh luka jiwanya raib. Sejak saat itu, ia semakin percaya kepada kekuatan malam. Hanya kala malam tiba, ia akan menjumpai bayi-bayi yang tak pernah dilahirkannya.
Dalam doanya yang panjang, kadang-kadang, ia meminta Tuhan untuk mengubah seluruh isi hari dan seluruh detak waktu menjadi malam. Malam dan malam. Ya, malam yang sangat menggairahkan. Namun, ternyata Tuhan kelewat demokratis. Ia membagi hari menjadi siang dan malam. Perempuan itu pun menyerah, meskipun ia menggerutu kenapa harus ada siang hari yang selalu dikutuknya. Siang, pikir perempuan itu, hanya emberinya hiruk-pikuk kerja yang didikte detak jam, target, sedikit upah, dan selebihnya rasa ngilu. Perempuan itu tidak ingin menjadi budak waktu, yang berenang dalam kubangan keringatnya sendiri sambil mengejar benda apa saja yang terapung di sana.

Perempuan itu diam-diam menyesal, kenapa kesadaran itu beru muncul sekarang. Bertahun-tahun tak berdaya, tunduk digiring ke kamp kerja paksa, dengan rangsagan upah ala kadarnya. Bertahun-tahun ia harus memelihara kekuatannya, dan menguah saraf-sarafnya menjadi baja untuk melayani hasrat laki-laki yang begairah mengisap seluruh isi tubuhnya demi beberapa teguk kenikmatan sementara. Entah sudah berapa puluh liter air mani laki-laki tumoah di rahimnya. Entah sudah berapa kali ia harus menguras bakal janin agar tidak menjadi beban hidupnya. Barangkali, jika bayi-bayi itu bisa dilahirkannya, ia akan memiliki puluhan anak yang memenuhi rumah dan halaman. Tetapi, majikan yang menjebaknya menjadi perempuan penghibur, yang kini diistilahkan dengan gagah menjadi pekerja keras seks komersial, melarang dia untuk hamil.
Padahal, ia sangat ingin punya anak. Ia hanya menangis setiap pengguguran bayi itu dilakukan. Ia membayangkan janin-janin itu meronta dalam rahimnya, sebelum lebur menjadi cairan kimia. Ia juga tak bisa membayangan kemarahan janin-janin itu kepadanya. Mereka akan menganggap dirinya sebagai perempuan kejam yang setiap kata dan tindakannya menjadi pisau dapur yang menikam-nikam mereka. Perempuan itu juga tidak sanggup membayangkan jika janin-janin itu mengutuknya sebagai raksasa yang meramu nyawa bayi-bayi dan mereguknya demi kenikmatan. Ia ingin menjelaskan, dan berharap janin-janin itu mengerti, bahwa dirinya ingin melahirkan mereka untuk memasuki hiruk-pikuk dunia dan merengkuhnya dengan cintanya. Ia ingin menjelaskan semuanya. Namun, kesempatan itu tak kunjung tiba. Setiap waktu, ia disergap semacam perasaan bersalah, perasaan berdosa pada janin-janin yang amat dicintainya itu.
Setiap malam, ia khusuk melakukn ziarah rahasia bagi arwah-arwah bayinya yang dirampas hak hidupnya. Ia begitu gembira bertemu dengan mereka. Ia, dengan kasih seorang ibu, menggendong mereka, mengajak mereka bermain, memndikan mereka, dan menidurkan mereka.
Perempuan itu, dengan sisa-sisa ingatan di masa kanak-kanaknya, juga mendongengi arwah-arwah bayinya. Ia sangat bergembira memandang mata mereka berbinar-binar. Lusinan mata arwah-arwah bayi itu menjelma menjdi kristal-kristal cahaya yang membuat dadanya mekar. Di dada yang punuh itu, air susunya tak pernah habis diisap berpuluh-puluh mulut mungil arwah-arwah bayinya. Ia merasakan kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya yang sintal. Ia merasa bahagia ketika dua putingnya itu dilumat arwah-arwah bayinya. Nyanyian pun akan selalu meluncur dari mulutnya seiring derasnya air susunya.
Pada kedua pipi perempuan bermata sayu itu mengalir dua anak sungai setiap ia ditinggalkan arwah-arwah bayinya. Serat-serat kasih saying yang teranyam itu dirasakan mendadak putus. Ia memang sangat mencintai bakal anak-anaknya, yang dihardik agar tidak melihat dunia. Ia tidak perduli, meskipun barangkali janin bayi-bayi itu berasal dari bibit laki-laki yang tidak jelas juntrungannya. Barangkali di antara mereka ada yang berasal dari bibit seorang jahanam atau bedebah busuk. Namun, pikirnya, janin itu tetap janin. Bayi itu tetap bayi, dengan segala kesuciannya. Tak seorang pun berhak mengutuk bayi, meskipun ia lahir dari lorong kegelapan.
Ia sesungguhnya selalu berharap agar dunia yang kejam ini sedikit ibi, dengan memberinya kesempatan untuk menguji janin-janin itu menjalani hidup. Tak soal, jadi apa mereka kelak. Apakah mereka itu akan menjadi sejenis bunglon, kadal, harimau, singa, ular piton, atau menjadi malaikat-malaikat kecil, yang dengan lingkaran aura cemerlang turun dari surga mewartakan berita dari langit. Hmm…

Begitulah, setiap malam perempuan berwajah tirus dan berambut lurus itu selalu menanti kehadiran arwah-arwah bayinya. Ia selalu menunggu mereka di beranda, di antara rerimbunan perdu dan bunga-bunga. Ia membiarkan rambutnya yang tergerai panjang disisir angin pegunungan. Ia berharap arwah-arwah bayi itu turun dari langit, muncul di antara bintang-bintang, yang terasa hanya beberapa depa dari kepalanya. Kadang-kadang tengannya bersusaha meraih bintang-bintang itu. Ia berharap bisa menemukan bayi-bayinya yang mungkin bersembunyi di situ.
Ia juga sering bernyanyi, dengan suara sedikit parau, agar arwah-arwah bayinya keluar dari persembunyiannya. Ia ingin mendekap mereka. Memeluk mereka. Mencium pipi-pipi mereka. Merasakan kehangatan yang luar biasa. Ia berharap malam mau mengabulkan harapannya untuk segera membuka tabir rahasia, di mana anak-anaknya itu berada.
Bermimpi tentang bayi-bayi menjadi satu-satunya kemewahan bagi permapuan itu, yang tinggal di sebuah villa mungil di atas bukit. Villa itu pemberian seorang laki-laki kaya, yang jatuh cinta kepadanya. Laki-laki itulah yang membebaskan ia secara paksa dari seorang agen tenaga kerja wanita yang menjebaknya menjadi pekerja seks komersial. Perempuan itu menurut saja ketika laki-laki itu menjadikannya sebagai kekasihnya. Laki-laki itu setiap akhir pekn selalu mengunjungi dan mengajaknya menyelami samudra sampai ke dasarnya. Ia tidak keberatan, karena diam-diam ia memang suka.
Meskipun hubungan itu telah berjalan jauh dan mendalam, ia merasa tidak perlu tahu siapa laki-laki itu sesungguhnya. Ia hanya bisa menebak-nebak. Mungkin laki-laki itu adalah seorang saudagar yang sukses. Mungkin ia seorang birokrat. Mungkin seorang hakim, serdadu, politikus, makelar, seniman, atau tukang khotbah agama. Mungkin saja ia itu koruptor yang licik dan licin serta tidak pernah tersentuh hokum. Atau, ia malah preman kelas kakap yang punya impian spektakuler merampok semesta seperti Waska, tokoh ciptaan Arifin C Noer dalam lakon Umang-Umang yang pernah ia baca ketika menjadi mahasiswa. Ia tidak peduli.
Yang paling membahagiakannya hanyalah, di villa puncak bukit itu ia bisa memasuki malam dengan sempurna. Malam yang baginya selalu memberikan ketulusan yang menentramkan. Kadang-kadang ia berpikir, jangan-jangan ia lebih mencintai malam ketimbang laki-laki yang menghidupinya. Namun, ia tak peduli. Ia sekedar menjalani hidup ini. Ia ingin seperti air yang mengalir.

Mendadak perempuan itu dikejutkan oleh suara tangis bayi yang ramai. Malam pun seperti tergeragap dan terjaga, seiring desau angina pegunungan yang menyimpan jutaan jarum baja yang menikam-nikam tulangnya. Tangis bayi-bayi itu membikin senyumnya mengembang., membuat matanya berbinar. Ia kembali merasakan kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya. Perempuan itu bergegas bangkit mencari sumber suara. Ia menuju berbagai arah. Rerimbunan perdu dan bunga-bunga disibaknya. Tak ada siapa pun ditemuinya. Tangis bayi itu terasa makin menjauh dan menjauh. Ia kesal. Wajahnya sedikit terlipat. Ia menganggap mungkin suara itu tangis anak-anak jin. Namun, ketika ia hendak menuju beranda, tangis bayi-bayi itu kembali terdengar. Ia kembali bergegas mencari sumber suara. Mendadak tangis bayi-bayi itu berubah menjadi deru mesin mobil yang menjamah halaman villa.
Perempuan itu terkejut, dan hamper jatuh. Matanya silau diterpa sinar lampu mobil yang terang bagai siang.
Mobil itu masih hidup ketika dua orang laki-laki turun. Langkahnya tegap. Perempuan itu mundur beberapa langkah, ketika tahu yang datang bukan kekasihnya. Kecemasan mendadak menyergapnya. Dua laki-laki kekar itu merangsek dan mendekap perempuan itu. Perempuan itu meronta.
“Menyerahlah kamu perempuan sundal!” teriak salah satu dari mereka.
Perempuan it uterus meronta. Namun, dua laki-laki itu terlalu kuat untuk dilawan. Mereka kemudian menyeret perempuan tak berdaya itu ke mobil. Mobil menderu, meninggalkan halaman villa yang memang diterobos bias cahaya lampu dari beranda.

Perempuan itu duduk terpuruk di pojok ruangan remang yang penuh asap. Ruangan yang sudut-sudutnya sangat ia kenali. Ruangan yang secara fasih mengisahkan sepotong perjalanan hidupnya yang keras, terjal, penuh peluh dan keluh. Di ruangan yang tanpa kipas angin itu, beberapa laki-laki telah menunggunya.
“Layani mereka dengan baik!” ujar seorang laki-laki yang suaranya sangat dikenalnya. Suara berat yang penuh dengan arom alkohol. Suara yang setiap kalimatnya berbau ancaman, yang bertahun-tahun menindas jiwanya. Suara yang selalu menghadirkan bayangan mengerikan: kamar remang, laki-laki yang secara kasar membongkar pakaiannya, tubuh yang dirajam deru nafas, dan rasa nyeri yang merajamnya sampai sukma.
Begitulah hari-hari dilaluinya dengan perasaan nyeri di rongga dada. Nyeri di kemaluannya. Hari-hari itu selalu bermakna siang: kerja, kerja, dan kerja demi kepuasan para pembeli tubuhnya. Ia selalu gagal menjumpai malam yang tulus memberikan keheningan. Ia pun tak pernah lagi bisa menziarahi arwah-arwah bayinya. Germo itu telah merampas impian mewah miiknya. Perempuan itu tetap saja berjuang untuk membangun keheningan malam di tengah hiruk-pikik berahi laki-laki yang rakus melumat tubuhnya. Namun, keheningan malam gagal dating. Juga arwah bayi-bayinya yang sering menemuinya. Kini, ia dipaksa berenang-renang di genangan keringatnya. Ia dicengkeram rutinitas yang pelan-pelan membunuhnya.
Perempuan itu keras-keras meronta, menjerit dalam jiwanya. Ia ingin mengadukan segala hal-ihwal sungkawa kepada keheningan malam. Namun, kini keheningan malam itu raib entah kemana. Sekuat tenaga ia kembali bangkit dan membangun persembunyian di rongga batinnya, seperti laba-laba membangun sarang, seinci demi seinci membentangkan sulur dari lendirnya. Di sarang itu, ia berharap bisa bercengkerama dengan arwah-arwah bayinya.

Rabu, 13 Januari 2010

Hatiku Selembar Daun

Hatiku selembar daun
melayang jatuh di rumput
nanti dulu
biarkan sejenak aku berbaring di sini
ada yang masih ingin kupandang
yang selama ini senantiasa luput

sesaat adalah abadi
sebelum kau sapu tamanmu setiap pagi

kupu-kupu di sayap warna
suara burung di ranting cuaca
bulu-bulu cahaya
betapa parah, cinta kita remuk
berjalan di antara jerit-jerit bunga merekah

hatiku selembar daun
mengemis pada ranting
dahan patah belah dua

burung pipit di tangkaimu
bersenandung kehangatan,
kabut pun terlenyapkan..

hatiku selembar daun
aku tanpamu kini
akan jadi masa lalu
tanpa jiwa

mengikis selaksa perih,
melebur sudah bahkan
pada sejernih air..

wujudku tak tergambar
bayang di permukaan pun menghilang..

hatiku selembar daun
bila kau tak datang,
keadaan sudah kubaca

Hujan Jugakah di Hatimu?

ketika kutitipkan cinta padamu,
bersamanya turut gerimis dan halimun pudar
dibalur harap yang perlahan luntur
menjadi anak sungai, mengalir mengikutimu entah kemana..

ketika jemari merekah,
dan kupu-kupu pun terbang,
ku kalungkan seuntah bunga lily
di hangat matahari
yang menguapkan segala prasangka,
selain pasungan ketulusan

ketika kuberikan sekeping rindu padamu,
kuberi pula sebutir mimpi
yang di dalamnya aku lelap, pulas, abadi...

bersamamu...
sehelai sepinggang; seikat cinta,
seperca kenangan...
ketika kutitipkan cinta padamu,
hujan jugakah di hatimu?

My Pray for Man I Love

Lord, You are present in the Blessed Sacrament.
You loves me and knows me.
I pray for a man who will be a part of my life,
a man who really loves You more than everything
a man who will put me in the second place of his heart
a man who lives not for himself but for You.

The most important is
I want a heart that really loves and thirsty of You
and have a desire to be like You, Jesus
and he must know for whom and for what he lives,
so his life isn't useless.

I pray for
a man who not only loves me but also respects me
a man who not only adores of but can warns me when I'm wrong
a man who loves me not because of my beauty but my heart
a man who can be my best friend in everytime and situation
a man who makes me feel like a woman when I beside him

I do not ask a perfect man but I ask for a man as he is,
so I can help him perfect in Your eyes,
a man who need my support for his strength
a man who need my prayer for his life
a man who need my smile to cover his sadness
a man who need my love so he feel being loved
a man who need me to make his life beautiful

And I also ask You, Jesus in the Blessed Sacrament:
Make me to be a woman that can make him proud
Give me a heart that really love You, so I could love him with Your love not love him with my love
Give me Your hands that always pray for him
Give me Your eyes, so I could see many good things in him and not the bad one
Give me Your mouth that filled with Your words of wisdom and encouragement
so I can support him every morning
And I want that finally we meet,
both of up can say 'How Great Thou Art' that You give of someone that can make my life perfect.

I know that You want us met at the right time
And You will make everything beautiful in Your time.
For You, who live and are King for ever and ever. Amen...

Kristal Kesunyian

Kemana malaikat-malaikat itu pergi pada hari Sabtu, ketika kota dihujani abu dan serbuk-serbuk kimia yang menimbulkan asap radio-aktif serupa jamur raksasa? Pertanyaan itu menggigil sunyi dalam keperihan hati perempuan itu, yang tak pernah lepas menatap reruntuhan bangunan di kota kecil yang dipeluk sebatang pantai, lengkap dengan langit biru, ratusan camar, pasir putih, dan matahari merah tembaga. Rambut blonde perempuan itu berkibaran tertiup angin senja yang mengabarkan berita dari negeri jauh. Jeritan handphone di sakunya membuyarkan lamunannya. "Aku pasti pulang, Dad. Tapi, tunggu dulu. Pemerintah di Negeri Angin ini sedang melakukan pencarian besar-besaran mayat-mayat yang tertimbun di reruntuhan bangunan. Doakan aku segera bisa menemukan mayat Kevin," ujar Stefany, perempuan itu dengan gusar.
Stefany menatap laut lepas, seolah memandang wajah ayahnya yang kini digulung kecemasan di Melbourne, menunggu kepastian mayat menantunya, Kevin. Ada rasa bersalah yang mendesak dada Stefany ketika ia ingat ucapan ayahnya, "untuk apa kalian honeymoon di Pulau Paredesi? Bukankah Melbourne juga punya banyak pantai yang indah?"
"Honeymoon di rumah sendiri? Alangkah tidak romantis, Dad. Kami butuh suasana yang eksotis, Dad. Dan, di Pulau Paredesi kami bisa menemukan surga," ujar Stefany sambil memeluk Kevin.
"Dad, satu-satunya makhluk yang tidak dapat dibunuh adalah kenangan. Dan, perkawinan tidak indah tanpa kenangan," Kevin menimpali.
"Ah, omonganmu seperti penyair romantik di abad pertengahan... Berangkatlah kalian. Semoga benar-benar menemukan surga," ayah Stefany tertawa, membuat gelambir-gelambir di lehernya terguncang-guncang.
Dada Stefany terguncang ketika tiba-tiba ada orang menyebut namanya.
"Hey... Iwan. Bagaimana kamu bisa menemukan aku di sini?"
"Diam-diam aku selalu mengikuti kamu. Aku cuma cemas saja..."
"Bagaimana perkembangannya?"
"Puji Tuhan. Tim evakuasi mayat telah menemukan mayat Kevin."
Mata Stefany mendadak berbinar seiring dengan senyumnya yang mekar. Ia jabat erat tangan sahabat barunya yang telah dikenalnya selama seminggu itu, karena ia menginap di hotel tempat Iwan bekerja. Namun, Stefany segera melepaskan. Ia merasakan kecanggungan menyergap Iwan.
"Iwan, kalau malaikat-malaikat itu tidak libur di hari Sabtu, pasti ledakan bom itu takkan terjadi. Dan, Kevin serta ratusan orang lainnya tidak mati..." mata Stefany sembab. Pandangan matanya mengirimkan pukulan-pukulan keras di rongga dada Iwan.
"Barangkali benar, malaikat-malaikat itu sedang tidak ada di sini, Stefany. Atau, iblis bergerak lebih cepat meledakkan bom. Ah, aku tidak tahu, Stefany. Bisa jadi semua ini takdir.." ujar Iwan sambil memancal pedal gas. Mobil berjalan sangat cepat, meninggalkan reruntuhan bangunan, meninggalkan aroma mayat.
"Takdir? Ini politik para monster dan gangster, Iwan." Isak tangis Stefany meledak, "Kenapa dalam soal beginian malaikat-malaikat itu tidak campur tangan menyelamatkan mereka yang tidak berdosa. Ya, setidaknya Tuhan kan bisa mengutus mereka untuk..."
Mobil Iwan terus melesat. Ketika melewati tikungan tajam, mobil itu sedikit oleng. Tubuh Iwan dan Stefany terguncang.
"Wan, atas nama kepentingan politik, maut bisa dipesan kepada siapa saja," Stefany menarik nafas dalam-dalam ketika mobil kembali tenang.
Mobil menyibak kerumunan orang-orang dan para wartawan. Berbagai perasaan yang campur aduk mendorong Iwan dan Stefany bergegas memasuki rumah sakit, menyusuri lorong-lorong, berpapasan dengan ledakan-ledakan tangis, berpapasan dengan kecemasan, sumpah serapah, dan kutukan.
Mayat-mayat itu menghitam serupa arang dalam kantung-kantung plastik. Stefany menjerit histeris ketika melihat tubuh arang Kevin. Ia peluk mayat arang itu kuat-kuat dalam ledakan tangis yang menyayat. Iwan mencoba menenangkan Stefany. Tapi, kedukaan yang jauh lebih kuat dari kesadaran membuat Stefany makin meronta.
"Kalian telah membunuh cinta kami!" jerit Stefany. Orang-orang, mungkin keluarga korban, memandang Stefany. Empat satpam rumah sakit bergegas menguasai keadaan dengan memaksa Stefany meninggalkan ruangan yang penuh aroma mayat. Stefany memberikan perlawanan sekuatnya. Tapi, empat satpam bertubuh gagah itu dengan cepat berhasil menyeret Stefany.
Stefany masih mencium keringat Kevin yang melekat di jaket jeans Kevin yang terus dikenakannya. Keringat itu masih menyimpan gairah asmara. Ketika bulan tersepuh perak menebarkan candu asmara di Kota Paredesi, gejolak Kevin untuk mengarungi setiap jengkal tubuh Stefany tengah menggelegak. Dirasuki serupa birahi remaja, Kevin bergairah menebarkan jala, meringkus Stefany dalam dekapan kehangatan. Udara sejuk pulau itu membimbing mereka menjadi remaja yang belajar mengenali lautan asmara. Sentuhan Kevin adalah sentuhan laki-laki pertama Stefany.

Sore itu, ketika mereka telah sampai di Pulau Paredesi setelah berikrar sehidup semati di depan altar, Stefany dan Kevin terlibat perbincangan yang hangat.
Stefany menatap mata Kevin yang tajam berkilau. Obrolan yang mengalir itu mampu membuka simpul-simpul saraf, membangkitkan berbagai kelenjar dalam tubuhnya. Kini kanal-kanal kelenjarnya itu begitu terbuka menciptakan arus aneh, yang ia sendiri tak mampu memberi nama, namun mampu merasakan kenikmatan yang jauh lebih dahsyat dari persetubuhan.
Kelenjar-kelenjar gairah itu bangkit membadai ketika mereka mereguk pelayaran asmara di suite yang mereka sewa. Mereka bergairah menciptakan malam-malam pengantin yang tak mungkin menguap dari tabung ingatan. Setelah pelayaran ke dasar samudra itu, yang ia rasakan hanyalah matanya basah. Basah karena haru bahagia merasuki relung hatinya.
"Kamu bahagia Stefany?"
"Bahagia. Sangat bahagia, sayang.."

"Cepatlah bangun Kevin. Toko-toko cendera mata keburu diburu pembeli. Bukanlah kamu akan mengalungkan manik-manik permata di leherku?"
"Berangkatlah dulu. Nanti aku menyusul. Aku masih ngantuk, dear."
Stefany bergegas meninggalkan kamar hotel setelah meninggalkan kecupan di pipi Kevin. Pagi itu ia akan memulai petualangan baru. Ia sama sekali tak menyangka, hotel itu kemudian dihajar bom. Tubuh Kevin menjelma menjadi bayangan.

Sambil meremas kalung manik-manik permata, Stefany menatap lekat-lekat tubuh suaminya serupa arang dalam kantung plastik. Perempuan bertubuh semampai itu, dengan sepasang mata biru yang digelayuti impian-impian pengantin, tak mampu lagi menangis. Seluruh kepedihannya telah mengkristal menjadi kesunyian.
"Kalian bisa membunuh Kevin, tapi tak akan bisa membunuh kenangan kami, " Stefany membatin dalam deru suara pesawat terbang yang membawa mayat Kevin ke Melbourne. Ia melihat puluhan malaikat menjaga mayat suaminya. Mereka menebarkan senyum kepadanya. Stefany ingin bertanya, kemana kalian pergi pada hari Sabtu, ketika kota dihujani abu, asap kimia, debu radio aktif yang mencabut ratusan nyawa? Kemana kalian? Tapi, kerongkongannya terasa tercekat, pita suaranya terasa terlipat. Stefany hanya memandang malaikat-malaikat dalam pesawat itu, lekat-lekat.

Upacara Menatap Matahari

Di beranda itu, laki-laki renta yang berjalan dengan terbungkuk-bungkuk dan sering mengobral batuk duduk di atas kursi goyang. Rambutnya yang memutih begai perak berkilat-kilat diterpa matahari sore. Laki-laki itu memang sangat mencintai matahari. Pagi dan sore ia selalu setia menjumpai matahari. Menatapnya lekat-lekat tepat di pusatnya dalam beberapa detik, kemudian mengisap udara dan mengembuskannya kembali. Upacara itu dilakukannya berulang kali.
Mata laki-laki itu terasa berkunang-kunang. Dari balik ribuan kunang-kunang itu lalu muncul kereta kencana yang ditarik dua belas kuda putih. Laki-laki tua itu menggapai-gapai kereta kencana. Namun, sais kereta kencana itu -sesosok tubuh dibaut kain putih- hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Kereta kencana itu pun berlalu meninggalkan kesedihan yang sangat mendalam di rongga dada laki-laki itu. Namun, kesedihan itu tak membuatnya putus asa. Entah kapan, laki-laki tua itu yakin pasti bisa naik kereta kencana yang sangat dirindukannya itu.
Begitulah setiap hari -pagi dan sore- laki-laki tua itu menunggu kereta kancana yang muncul dari balik matahari. Lelaki tua itu yakin, sais kereta kencana itu adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjemputnya.
Lelaki renta itu akan sangat sedih dan terpukul jiwanya jika mendung menguasai langit atau hujan tumpah. Jarum-jarum hujan itu dirasakan merajam jiwanya. Rajaman yang memaksa mulutnya menumpahkan sumpah-serapah, bahkan kutukan. Tapi, sang hujan malah seperti mengejeknya. Sebentar turun, sebentar berhenti. Dan, ketika lekali itu mendongakkan kepalanya memandang langit untuk mencari matahari sang kekasihnya itu, hujan pun mendadak tumpah merajam wajah dan tubuhnya. Lelaki tua itu makin bersemangat menghujat hujan yang bagai dikomando dengan remote control itu.
Akan tetapi, hari itu, harapan laki-laki tua itu kembali mekar. Dipandangnya langit yang resik.Mata laki-laki itu akan dengan lahap menatap matahari. Ada getaran-getaran rasa aneh yang indah merayapinya ketika sinar matahari itu merajam kulitnya, merajam tubuhnya, merajam jiwanya. Ia terus menatap matahari yang bergulir seinci demi seinci hingga mencapai lengkung langit. Selama ia menatap matahari, mulutnya komat-kamit. Entah apa yang ia ucapkan.
Tiga satpam yang menjaga rumah itu merasakan keanehan pada laki-laki itu. Mereka tak mengenali bahasa laki-laki tua itu. Mereka hanya bisa menebaknya, mungkin doa atau mantra. Tapi, bisa juga bahasa purba. Mereka pun merasakan keanehan ketika lelaki itu juga mengajak bicara angin, pepohonan, tanaman, burung-burung, ikan-ikan dalam kolam, bahkan juga pilar besar yang menjaga rumah lelaki itu. Laki-laki tua itu kadang menangis, tetapi kadang juga tertawa.
Tanpa disadari lelaki itu, sebuah mobil menjamah halaman rumah yang besar dan asri itu. Ia pun tak peduli ketika dari perut mobil BMW hitam keluar anak-anak dan cucu-cucunya. Mereka berhambur memeluk laki-laki itu. Cucu-cucunya bergelendotan di punggung eyangnya.
"Jangan Dito, jangan. Nanti punggung eyang patah," ujar wanita cantik dengan setelan baju kembang-kembang musim semi.
"Bapak harus banyak istirahat ya," ujar wanita itu sambil membimbing ayahnya masuk ke rumah.
Lelaki tua itu menatap wajah anaknya. "Kamu Wati ya?" ujarnya pelan.
Wati, lengkapnya Linawati, sedih mendengar pertanyaan itu. Namun, ia buru-buru mengangguk. Takut menyinggung perasaan ayahnya.
"Dimana kamu sembunyikan matahariku? Di mana?" laki-laki itu bicara agak keras, hingga batuknya kembali mengamuk. Linawati, suaminya, dan anak-anaknya kontan terdiam. Kesedihan seperti memukul-mukul dinding hati mereka.
"Di mana matahariku? Di mana?" ujar laki-laki itu setengah membentak.
"Aguh Bapak. Tak ada yang mencuri matahari Bapak. Matahari Bapak masih di sana, di langit," Linawati merasakan hatinya ngilu.
Linawati tampak bicara berbisik-bisik kepada suaminya, Darmawan. Pengusaha muda berwajah ganteng seperti model iklan sabun itu mengangguk-angguk.
"Maafkan kami, baru kali ini bisa kemari. Mas Darmawan baru saja pulang dari Sulawesi. Yah, biasa. Bisnis. Bosnya minta dia menjajaki kemungkinan membuka cabang di sana.." ujar Linawati sambil memijit-mijit pundak bapaknya.
Lelaki tua itu menatap Linawati. Kosong. Kemudian ia tersenyum.
"Doakan kami ya Pak. Kami berhasil memenangkan tender reklamasi pantai."
"Tapi, pantai itu ada mataharinya tidak?"
"Ya jelas ada dong Pak. Kapan-kapan kita ke sana. bapak bisa menatapnya sepuas-puasnya. Tapi, ya itu, Bapak mesti disiplin minum obat. Biar cepet sem..."
"Buuhhhh," timpal lelaki tua itu.
"Wah, Bapak sudah pinter. Coba ingat cucu Bapak ini siapa namanya?"
"Babi..., ya Babiiii"
"Masak Babi? Bobby Pak... B-o-b-b-y. Bulan depan dia mau sekolah ke Amerika. Lha kalau yang ini siapa?"
Lelaki tua itu terdiam sesaat, lalu mengucap. "Sapi.. Ya, Sapi.."
"Masak Sapi sih Pak? Shophie.... Pak... S-o-p-h-i-e. Lihat cucu Bapak cantik kan?"
"Ya...ya... Tapi masih cantikan matahari..."
Kepedihan merambati hati Linawati, Darmawan, dan kedua anaknya.

Linawati dan tiga saudaranya -Hendra yang jadi pengusaha real estate, Mila yang jadi pengusaha kayu lapis, dan Tedy yang jadi eksportir mebel- telah dua kali membawa lelaki tua itu ke Amerika untuk pengobatan stroke. Yang pertama ketika terjadi penyumbatan pembuluh darah di kepala dan yang kedua ketika terjadi pendarahan otak. Sebagai mantan gerilyawan pada masa revolusi fisik, tubuh lelaki itu ternyata sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari penyakitnya. Dokter-dokter bule itu hanya geleng-geleng kepala ketika kesehatan laki-laki tua itu kembali membaik. Padahal, mereka telah memvonis hidup lelaki tua itu hanya tinggal sebulan. Maka, ketika stroke ketiga menyerang lelaki itu, Linawati dan ketiga adiknya tak terlalu cemas. Mereka sangat yakin, ayah mereka mampu mengatasinya. Keyakinan mereka terbukti, lelaki tua itu hanya membutuhkan perawatan sekitar sebulan di rumah sakit Amerika. Sesudah itu, laki-laki tua itu meninggalkan kursi rodanya dan bisa berjalan meskipun terbungkuk-bungkuk.
Memandang foto ayahnya yang berpakaian seragam, Linawati masih merasakan tatapan mata yang nanar dan geliat semangat yang mengakar pada diri ayahnya itu. Ketika masih duduk di bangku SMP, Linawati senantiasa penasaran melihat ayahnya selalu melakukan upacara menatap matahari pada pagi dan sore. Rasa ingin tahu menggelitiknya untuk bertanya.
"Matahari itu pusat tenaga hidup. Kalau engkau mampu menguasainya, engkau pun akan menguasai dunia, menguasai hidup," ujar ayahnya.
Ucapan itu kembali terngiang di telinga Linawati. Ia sangat yakin, pendapat ayahnya itu benar, terbukti, karir ayahnya begitu melesat. Tidak hanya sukses di bidang keprajuritan, tapi juga sukses di bidang politik. Ketika Linawati menjadi mahasiswa, ayahnya telah menjadi gubernur. Posisi ayahnya yang cukup penting itu mampu meratakan jalan baginya dan adik-adiknya dalam berkarier. Jaringan ayahnya begitu luas. Ia punya hotline kepada tokoh-tokoh penting di Republik ini. Waktu itu, Linawati sampai menganggap ayahnya punya ludah api: apa yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Ia membuktikan sendiri, hanya sekali telepon, ayahnya mampu memberikan sejumlah proyek kepada dirinya: jalan tol, pom bensin, pasar swalayan, hotel, bisnis instant food, dan lain-lainnya. Begitu pula adik-adkinya yang mengikuti jejak bisnisnya.
"Semua itu karena aku setia pagi dan sore menatap dan mengisap tenaga matahari," ujar ayahnya waktu itu.
Namun, tenaga matahari yang telah lebur dan luluh ke dalam darah lelaki itu, tak mampu menolong ketika lelaki itu terlibat dalam perkara korupsi proyek bendungan yang menenggelamkan belasan desa. Selain dituduh menilep uang proyek bernilai Rp 90 milyar,lelaki itu juga dituduh melakukan kekerasan, dengan melenyapkan nyawa empat pemuda demonstran yang melawan megaproyek itu. Meskipun telah menjadi tersangka kasus korupsi dan persekongkolan pembunuhan, lelaki itu tidak ditahan. Pengaruhnya kepada pejabat penting dan penegah hukum ternyata lebih kuat. Ia hanya dikenai wajib lapor ke kejaksaan setiap minggunya. Dan, karena surat dokter pribadi menyatakan lelaki itu sakit, maka justru petugas kejaksaanlah yang mendatangi rumah lelaki tua itu setiap minggu. Setiap menghadapi lelaki tua itu, petugas kejaksaan merasa keder. Seluruh keyakinan dirinya mendadak lumer dan mencair menjadi butir-butir keringat dingin.
"Jadi daripada sodara ini mau menanyaken daripada uang poyek itu? Boleh. Selaku warga negara yang baik dan taat kepada hukum saya akan lila legawa menjawab pertanyaan daripada sodara ini. tapi, saya mengingatken daripada sodara ini, saya ini telah menjalanken daripada amanat pimpinan pusat secara murni dan konsekuen. Apalagi daripada sodara ini mengenal saya secara baik. Saya pejuang yang jujur. Selalu bekerja tanpa daripada pamrih. Jadi, tuduhan bahwa daripada saya ini melakukan daripada korupsi dan kekerasan, itu semata-mata fitnah. Jadi, jelas ya?" ujar lelaki tua itu, yang selalu menyisipkan tawa dalam setiap lagu kalimat.
Jaksa itu mencoba mengejar jawaban dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Tapi, mendadak ada semacam kekuatan yang membekap mulutnya. Jadilah pemeriksaan itu sekedar ramah-tamah biaa dan tak pernah menyentuh persoalan.
Tim kejakssaan merasa kesulitan. Setiap jawaban yang keluar dari mulut lelaki tua itu tak pernah jelas. Menurut tim dokter, lelaki tua itu mengalami gangguan atau kekacauan memori. Yang keluar dari mulutnya kadang hanya terdiri dari kumpulan vokal, kadang hanya konsonan. Atau, kaalu toh ada jalinan konsonan dan vokal, tak pernah membentuk makna. Lelaki tua itu lebih banyak "berbunyi" daripada bicara, sehingga akhirnya pemeriksaan itu dihentikan, atau terpaksa berhenti dengan sendirinya.

Begitulah, laki-laki itu setiap hari, pagi dan sore, selalu menatap matahari, sang kekasih, yang dianggap telah memberikan sumber tenaga, hingga ia tua. Dan ia selalu merindukan kereta kencana yang berkilauan dan ditarik dua belas ekor kuda putih, dengan saisnya yang berpakaian serba putih.
Namun, sore itu, ketika rembang petang terbentang, laki-laki itu terkejut. Dari balik awan gelap muncul kereta hitam yang ditarik puluhan serigala hitam, dengan sais berkain serba hitam. Kereta itu berhenti tepat di depannya. Sais itu turun dengan wajah menyeringai siap menerkam. Tampak gigi-gigi dan taringnya berlepotan darah. Laki-laki itu mundur beberapa langkah. Namun, sais itu terus merangsek hingga ia terpojok. Sais itu dengan paksa dan kasar menarik tubuh lelaki itu. Ia meronta dan mencoba melawan, namun sia-sia. Tubuh lelaki tua itu diseret dan dilemparkan ke dalam kereta.
Di dalam kereta itu ratusan ular mematuki tubuh lelaki itu. Lelaki tua itu menjerit dan meronta, namun, semakin keras ia menjerit, ular-ular itu semakin ganas mematuk dan memagut. Darah segar pun muncrat dari pori-pori yang ternganga lebar. Tubuh laki-laki tua itu terkapar bersimbah darah.

Linawati dan ketiga adiknya cemas melihat ayahnya terjatuh dari kursi goyang dan mengejang-ngejang kesakitan. Serta merta mereka membopong ayah mereka ke ranjang. Dokter pribadi menyuntikkan cairan ke tubuh lelaki itu. Namun, lelaki itu tak kunjung tenang, bahkan gema jeritannya semakin panjang. Ratusan ular ganas tu dengan bersemangat tanpa henti mematukinya,memagutnya, hingga lelaki tua itu tak berdaya. Darahnya membeku. Tubuhnya membiru.
"Maafkan saya, Saya telah gagal menolong Bapak dari serangan jantung," ujar dokter sambil menyeka keringat dinginnya. Linawati, ketiga adiknya, serta anak-anak mereka hanya saling pandang dan akhirnya menunduk. Linawati mencium pipi ayahnya, dengan mata sembab. Hendra terpaku dan mematung dengan kesedihan yang membeku. Mila dan Tedy menangis histeris, seolah ingin menahan nyawa ayahnya yang oncat dari raga.
Sais kereta yang berwajah bengis, dengan gigii dan taring berlepotan darah itu puas memandang mayat laki-laki tua yang terbelit ratusan ular ganas. Ia pun memicu kereta hitamnya yang ditarik puluhan serigala hitam. Membawa mayat laki-laki tua itu, entah kemana...

Palaran

Gamelan itu mengalun, menerobos celah-celah udara yang basah. Malam yang baru saja beranjak menjadi pagi seperti tergeragap oleh suara itu. Dan, angin yang bertiup dari bukit-bukit yang jauh mengirimkan suara itu ke peraduan sang Adipati. Suara itu menikam gendang telinga. Ia tergeragap bangun. Wajahnya tampak tegang.
Suara gamelan itu terus bertalu. Menghentak-hentak. Nada kawin dengan nada dan beranak-pinak irama. Dengan kedua tangannya, Adipati menutup telinganya. Tapi, suara gamelan itu terus menghantam telinganya. Mengahantam ulu hatinya. Kedua tangan itu gemetar. Adipati menjerit keras. Sangat keras. Dengan setengah telanjang, Nyi Adipati bangun. Wajahnya pucat pasi melihat suaminya terguling-guling di ranjang sambil terus menjerit. Nyi Adipati mencoba menenangkan suaminya.
"Siapa...siapa yang kurang ajar itu! Siapa yang berani menabuh gamelan itu! Siapa yang telah berani menantang aku," ujar Adipati agak gagap.
Nyi Adipati yang menyimpan keheranan, tak paham dengan ucapan suaminya.
"Saya tak mendengar suara gamelan, Kang Mas. Mungkin Kang Mas hanya terganggu mimpi buruk."
"Tidak, gamelan itu jelas terdengar"
Gamelan itu terus mengalun di pagi yang sunyi. Menembangkan Palaran, yang berisi tantangan dan isyarat peperangan. Tembang yang membuat telinga Adipati merah padam.
"Kau dengar suara itu?" Adipati memandang istrinya. Yang ditanya menggeleng. Pertanyaan itu kembali diulang, tapi Nyi Adipati tetap menggeleng.
"Semprul. Kamu bisanya cuma macak dan manak!" bentak Adipati kesal.

Sudah hampir seminggu Adipati terganggu suara gamelan itu. Ia tak bisa tidur wajar. Selera makannya merosot tajam. Di ranjang, ia makin dingin dengan istri dan selir-selirnya. Suara gamelan itu dirasakan mengancam dirinya. Suara itu mengingatkannya pada peristiwa puluhan tahun lalu, ketika ia dengan penuh gagah berani mengalunkan gendhing Palaran untuk menantang Adipati Sepuh yang dinilainya tak becus memimpin Kadipaten Padas Lintang. Dan, Palaran yang ditalukan ternyata mampu menyulut perlawanan di kalangan rakyat, yang sejak lama kecewa terhadap Adipati Sepuh. Padas Lintang, berubah jadi kolam darah. Mayat Adipati Sepuh dan ribuan mayat lain terapung di atasnya.
Kini, ketika Palaran itu menggema, wajah Adiipati Sepuh muncul di benak Adipati Anom. Wajah yang koyak-moyak oleh parang dan tombak, namun masih mampu mengejeknya. Ia sangat geram dan miris memandang wajah kekalahan itu. Jantungnya berdetak sangat keras diguncang-guncang kecemasan akan kehancuran yang hendak menimpanya.

"Cari mereka! Gantung mereka! Cari juga sisa keturunan Adipati Sepuh!" perintah Adipati kepada Tumenggung. Berpuluh-puluh mata-mata disebar ke seluruh penjuru Kadipaten, mencari sumber suara gamelan dan menangkap orang-orang yang berani mengalunkan gendhing Palaran. Tapi mereka hanya menangkap udara hampa dan wajah-wajah kosong yang menyimpan ketakutan. Beberapa pandai besi yang selama ini membuat gamelan juga diperiksa dan dikorek tuntas. Begitu pula dengan beberapa priagung yang menyimpan gamelan di pendoponya. Gamelan-gamelan itu pun akhirnya disita atas nama keamanan. Dan, dikeluarkan keputusan: siapa pun dilarang keras menabuh gamelan. Jika melanggar, hukum gantung sanksinya.
Seluruh warga kadipaten keder oleh keputusan itu. Gamelan menjadi benda haram. Dalang-dalang, pemain-pemain ketoprak, atau jaran keang dan wayang kulit tak berani memprotes peraturan yang jelas merugikan mereka. Tapi, demi tuntutan perut, mereka toh tetap harus main, tanpa iringan gamelan. Mulut-mulut merekalah yang kemudian menggantikan gamelan. Tapi, karena suara mulut itu pun dianggap mengganggu sang Adipati --karena ada yang sembunyi-sembunyi melantunkan gendhing Palaran oleh tuntutan lakon-- akhirnya juga dilarang.
Tanpa gamelan dan mulut terbuka membuat Kadipaten Padas Lintang menjadi hutan belantara sunyi. Setiap detik orang menghirup hawa ketakutan. Setiap detik orang mencium bau kematian. Kehidupan membeku.
Peraturan itu membuat hati Adipati sedikit lega dan tenang. Suasana aman itulah yang senantiasa diinginkannya. Untuk memberi hiburan kepada warga, Adipati mengumpulkan ahli-ahli gending di Kadipaten. Mereka diperintahkan memainkan gamelan dan gending-gending yang mengegungkan kejayaan Kadipaten dan berisi puja sembah kepada sang Adipati. Satu dua kali rakyat berduyun-duyun menyaksikan tontonan menarik itu. Tapi, untuk hari selanjutnya, pertunjukan itu sepi penonton. Gending-gending itu mengalun tanpa darah, tanpa gairah, tanpa greget. Tapi, sang Adipati terus memerintahkan untuk memainkannya. Gending demi gending diulang-ulang, gemanya memenuhi semesta Kadipaten Padas Lintang yang lungkrah.

Dengan telinga tersumpal kapas, Adipati merasa terbebas dari suara gamelan Palaran yang dikhawatirkan mendadak hadir. Suara gamelan yang ia sendiri tak tahu siapa-siapa penabuhnya. Ketika desa-desa tertidur, dari balik jendela kamarnya ia memandang langit, memandang bulan yang pucat. Ia membiarkan istrinya terkulai di ranjang dibelai impiannya.
Angin bertiup kencang menerobos jendela. Tubuh Adipati dibalut hawa dingin yang dirasakan aneh dan wingit. Seluruh ruangan di sekitarnya berubah kusam.
Angin mendadak berhenti ketika gending Palaran yang sangat ia benci itu kembali didengarnya. Ia memperketat kapas yang menyumpal telinganya. Tapi, gumpalan kapas itu sia-sia menahan suara. Seluruh pori-porinya tertembus gamelan yang mengalunkan Palaran.
Berbarengan dengan suara itu Adipati mendengar ringkik ratusan kuda. Lalu ditatapnya pasukan aneh dan kerumunan orang yang berdiri di depannya. Wajah mereka merah terbakar. Wajah-wajah yang tak pernah ia kenali. Wajah-wajah yang membisu. Wajah-wajah dengan sorot mata dingin, tapi mengerikan. Kerumunan itu mendesak, membuat Adipati mundur beberapa langkah. Tangannya menghunus keris yang terselip di pinggangnya. tanpa sedikit pun ketakutan kerumunan tak bersenjata itu terus mendesaknya.
"Kalian siapa? Kalian mau apa? Kalian minta apa?" bentak sang Adipati. Kata-kata itu menerpa udara kosong.
Kerumunan orang-orang itu bungkam. Mereka menjawabnya dengan sorot matanya yang merah dan nanar. Mata mereka menatap lekat-lekat wajah Adipati yang culas. Tatapan itu dirasakan sangat menghujam. Kecemasan Adipati memuncak.
"Kalian jangan bodoh. Kalian jangan ingin mati konyol!" bentak Adipati sambil mngacungkan kerisnya.
Kerumunan orang itu terus bergerak. Adipati mengayun-ayunkan kerisnya. Merobek-robek udara. Orang-orang itu terus mendesak, membuat Adipati terpojok. Adipati terus mengayun-ayunkan kerisnya. Satu-dua orang itu tumbang tertikam lambungnya. Tapi, orang-orang yang lain tidak surutMereka terus merangsek. Di pojok ruang itu Adipati sudah terkepung. Tak berdaya. Ia merasa menghirup hawa kematian. Sontak orang-orang itu merampas keris Adipati dan menghujamkannya ke dada Adipati.
Adipati tumbang di ranjang dengan meninggalkan jeritan panjang. tubuhnya berlumuran darah dengan keris tertancap di dadanya.
Nyi Adipati mendadak terbangun. Ia menjerit sangat keras. Orang-orang terbangun dan berlari ke sumber suara.
"Kang Mas Adipati bunuh diri!" ujar Nyi Adipati, cemas.
Angin kembali bertiup. Daun-daun jatuh. Mega-mega terurai. Bulan terang, kemilau. Cahayanya bergoyang, terpantul di air sungai yang terus mengalir. Angin mengirimkan kabar bahwa pagi sudah datang. Kehidupan Kadipaten Padas Lintang bangkit, seperti biasa. Mereka menganggap kematian Adipati sebagai hal yang juga biasa.
Suara gamelan sunyi tak terdengar lagi sejak kematian sang Adipati itu...

Sungkawa Seiris Semangka

Jantung perempuan itu tak lagi berdegup keras mendengar langkah sepatu, yang nada iramanya teratur bagai dipimpin partitur. Suara sol sepatu itu kini telah menyatu dalam denyut nadinya, dalam degup jantungnya, dalam setiap tarikan nafasnya. Suara sol sepatu itu pun telah hadir sebagai orkestra kecil dan sederhana, yang begitu saja muncul di setiap waktu, di ruang sunyi batinnya, memukul-mukul rongga dadanya, memantulkan gema yang ngelangut dan kadang menimbulkan rasa takut. Namun, rasa takut itu kini telah mengungsi entah kemana, setelah hamper sembilan bulan ia mendiami sel penjara. Bahkan kini suara sol sepatu itu selalu dirindukannya. Mereka, nada-nada sl sepatu itu, bagaikan gema kerinduan handai taulan yang datang dan menghilang diisap pengap udara, dingin lantai, dan tembok sel penjara yang kukuh angkuh mengurung dirinya.
Begitulah, setiap hari perempuan itu selalu menjalani upacara rutin: bangun pagi dengan sisa-sisa keletihan jiwa yag bergelayutan, dengan sisa mimpi buruk dan sisa kantuk yang melekat di matanya. Kemudian, ia songsong sorongan piring seng dengan gunungan kecil nasi, sayur kubis hambar dengan kuah melimpah, dan seekor ikan asin kecil berenang-renang di lautan kuah. Menu yang setia hadir, namun nyaris gagal menerbitkan selera makannya. Perasaan mual masih saja menguasai lambungnya.
Pagi itu, ia sedikit kaget melihat seiris semangka dengan daging merah segar bersandar di gundukan kecil nasinya.
“Ipah, makanlah walau sedikit agar kamu tidak sakit,” ujar sipir penjara sambil pergi. Tidak seperti biasanya, sipir itu memanggil namanya. Tidak seperti biasanya, ada buah dalam menu makanannya, piker Ipah yang masih disergap rasa kaget dan heran. Ia menduga-duga, bapak-ibunya atau sanak saudaranya mengirimkan buah kepadanya. Ia tidak heran kenapa yang sampai kepadanya hanya seiris, karena mungkin saja para petugas penjara itu juga terbit air liurnya melihat semangka yang ranum. Tapi, kenapa harus semangka? Dadanya mendadak terasa sesak. Seiris semangka yang kini pamer kesegaran di depan matanya itu, baginya, menyimpan kenangan kelam. Pandangan Ipah menerawang, mengarungi langit-langit sel, merabai dinding-dinding sel. Pita ingatannya yang masih segar berputar cepat. Gabar-gambar dan peristiwa demi peristiwa pun terpapar. Lalu kepingan-kepingan ingatan itu membentuk seraut wajah. Semula samar, kemudian jelas benar: wajah Onah!
“Ipah, hanya semangka yang aku suka. Entah kenapa. Mungkin, juraganmu kakung dulu waktu masih berpacaran denganku selalu membawa semangka. Air buah itu selalu mengguyur kerongkongan kami setiap kami habis bercinta. Entah kenapa, setelah kami makan buah itu, gairah kami yang semula padam membara kembali. Kami pun kembali bercinta. Habis-habisan. Sampai kemudian aku hamil dan melahirkan Jeremy yang kini kuliah di luar negeri. Dan tak terasa, setelah kami berumah tangga hamir 23 tahun, buah semangka itu tetap saja kami gemari. Ya, meskipun kami bias saja mempeli buah peer, apel, strawberry, atau salak pondoh Sleman…” ujar Nyonya Putri dengan tawa berderai.
Ipah merasa tidak ada yang lucu. Tapi toh terpaksa ikut tertawa, bukti loyalitasnya kepada juragan yang telah diikutinya hamper tuuh tahun. Ia ngenger, mengabdi pada keluarga pengusaha itu bersama kawannya, Onah, yang sama seperti dia dating dari desa yang jauh, yang namanya tak termuat dalam peta.
“Kenapa kamu berhenti tertawa, Ipah. Ayo tertawa,” Nyonya Putri berkata setengah membentak, sambil dengan lahap dan rakus melahap seiris demi siris semangkanya. Ipah pun tertawa. Terpaksa. Sangat terpaksa. Nyonya Putri pun tertawa berderai, sampai dadanya yang penuh lemak itu terguncang-guncang.
Nyonya Putri beranjak dari meja makan yang penuh sisa kulit semangka. Dua butir semangka besar itu nyaris habis dilahapnya. Tinggal tersisa seiris semangka yang tergolek merangsang di sebeleh pisau berkilat.
“Siapa pun tak berhak memakannya. Masukkan ke kulkas,” ujar Nyonya Putri. Ipah bergegas membuka pintu kulkas, memasukkan seiris semangka sisa.
“Besok beli semangka yang lebih gede. Ingat, tanpa biji!”
Ipah mengangguk.
“O, ya. Dimana Onah? Sejak pagi kok tidak kelihatan?”
“Sedang tiduran, habis belanja tadi pagi. Katanya pusing, perutnya juga mual. Beberapa kali dia muntah. Wajahnya sedikit pucat. Saya sudah sarankan ke dokter.”
“Tak perlu ke dokter segala. Boros. Siapa tahu dia sedang hamil. Iya kan, hamil kan?!” Nyonya Putri tertawa terbahak-bahak. Mendadak tawa itu terhenti, “Kenapa kamu tidak tertawa? Tidak lucu, ya?”
“Lucu… Lucu sekali,” Ipah pun tertawa cakikikan. Tapi, matanya basah.
“Dengan siapa ia hamil? Paimin? Joko? Atau Jarot?”
Ipah menggeleng, sambil menarik paksa bibirnya untuk tertawa.
“Kenapa kamu tertawa? Bukankah aku belum mengizinkan? Lancang!” bentak Nyonya Putri sambil masuk kamar. Wajah Ipah memerah diguyur perasaan takut dan malu.
Di sel yang pengap itu Ipah membasuh wajahnya dengan kucuran air kran di sel. Kesegaran merayapi jutaan pori-pori wajahnya. Diliriknya seiris semangka yang masih tergolek di piring seng. Irisan semangka yang menyerupai bulan sabit itu terasa mengejeknya. Ipah bergegas mengambil dan membantingnya. Menginjak-injaknya sampai hancur. Kakinya basah oleh cipratan-cipratan air semangka. Ipah menjerit, tapi suaranya tak keluar. Kerongkongannya serasa tersekat. Wajah Ipah menegang. Ditendangnya piring seng. Gunungan nasi pecah menjadi butiran-butiran. Sayur kubis dengan kuah yang melimpah pun tumpah. Seekor ikan asin kecil mencuat, menghantam dinding sel. Ikan asin itu dipungutnya dan disumpah serapahinya.
“Ingat, aku juga bias memperlakukan kamu semauku! Kamu tak bias lagi memaksa aku tertawa. Kamu piker aku ini apa? Robot? Boneka? Atau mainan yang bias seenaknya kau tending kesana kemari? Iya? Ayo habisi semangka itu. Kalau tidak awas! Aku bias mencekikmu. Ayo makan Nyonya bawel yang gembrot!” Ipah menjejalkan serpihan daging semangka itu ke mulut ikan asin. Berulang kali, sampai kpala ikan asin itu remuk. Ipah tertawa. Keras, sangat keras. Derai tawanya itu membentur tembok sel.
“Jangan mengira aku ini tertawa karena kamu perintah, Nyonya Gembrot!” bentak Ipah sambil meremas-remas ikan asin. Namun, mendadak Ipah menangis. Meraung-raung. Suaranya yang parau itu mengepung, mengurung. Ia kembali teringat Onah.

“Kenapa kamu menangis Onah? Kamu hamil?” Tanya Ipah sambil mengelus-elus rambut Onah yang ikal. Onah masih terisak di peluakn Ipah.
“Katakan dengan siapa? Jarot? Paimin? Atau Joko?”
Tangis Onah makin keras. Kepalanya digeleng-gelengkan.
“Lantas siapa? Apa kamu punya pacar baru?”
“Onah menggeleng. Ipah mulai panic. Dadanya terasa sesak.
“Apa… apa… Juragan Kakung?” Ipah menduga-duga.
Tangis Onah mereda. Tangannya makin kuat memeluk Ipah.
“Benar… Juragan Kakung? Katakan Onah. Katakan!” desak Ipah.
Onah mengangguk. Anggukan kepala itu seperti membuat bengkak dada Ipah.
Ipah memeluk erat-erat bantalnya, sambil duduk meringkuk di atas tikar lusuh sel itu. Pandangannya menerawang. Tangis Onah masih berputar di telinganya. Meremas-remas ulu hatinya. Rasa nyeri mengebor sukmanya. Dengan lelah, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Piring seng. Nasi bertaburan. Kepala ikan asin yang remuk. Buah semangka yang hancur. Dinding sel yang kusam. Tangis Onah yang terus datang dan menghilang…

“Nyonya Putri marah-marah. Seiris semangka telah hilang. Kamu mengambilnya?” Ipah tergopoh-gopoh membangunkan Onah di kamarnya.
Wajah Onah ketakutan.
“Kamu mengambilnya?”
“Rasanya jabang bayi ini memaksa saya untuk memakannya,” ujar Onah lirih.
“Kamu kan tahu, di rumah ini kamu boleh makan apa saja, asal bukan semangka.”
“Kenapa? Bukankah hanya buah semangka?”
“Apa katamu? Hanya buah semangka? Hanya? Aduh Onah… Kamu kan tahu, bagi Nyonya Putri, buah semangka jauh lebih berharga daripada sebutir kepala kita…”
Ipah memandang seiris buah semangka yang remuk dan kini mengonggok di pojok sel. Dipungutnya buah itu. Juga kepala ikan asin yang remuk. Seiris buah semangka dan kepala ikan yang remuk alangkah mengenaskan, pikirnya.

Malam masih pekat. Kegelapan sedikit terurai oleh cahaya bulan sebulat semangka. Tidur Ipah dirampas oleh suara teriakan dan bentakan dari luar kamar. Dengan sisa kantuk yang masih melekat di matanya, ia bergegas ke sumber suara. Di antara bohlam lampu sepuluh watt, ia melihat sosok perempuan tinggi besar menyeret perempuan kurus. Dari jenis suaranya, Ipah segera mengenali Nyonya Putri yang sedang menggelandang Onah ke halaman belakang.
“Ipah! Pegang Dia!” ujar Nyonya Putri sambil mengacung-acungkan selonjor besi besar. Ipah gugup. Jantungnya berdegup sangat cepat. Wajahnya mengerut. Nyalinya pun ciut. Tapi, dengan terpaksa ia pun bersuara, “Ya… Nyonya…”
“Ke sini kamu. Kenapa hanya diam. Pegangi tangannya.”
Ipah masih berdiri membeku, disergap perasaan ragu. Tangis Onah terus berdesing di liang telinganya.
“Ayo pegang tangannya! Pegang!”
Dengan gemetar Ipah memegang tangan Onah.
“Pegang yang kuat, guoblok!!!” ujar Nyonya Putri sambil mengayunkan lonjoran besi seperti mengayunkan tongkat baseball memukul bola. Ayunan itu makin lama makin keras menghantam kepala Onah. Mata Ipah terpejam. Yang ia dengar hanyalah jeritan Onah yang berpacu dengan pukulan besi mengenai kepala. Crak… Crakk… Crakkk…
Ipah merasakan tangannya basah. Darah segar muncrat. Ipah tak kuasa menahan kepedihan hatinya. Ditubruknya kaki Nyonya Putri.
“Maafkan dia… Maafkan dia… Saya akan mengganti seiris semangka yang dia makan…” ujar Ipah mengiba.
Bulan bulat semangka pucat di angkasa.
“Untuk apa perempuan sundal ini dimaafkan?” ujar Nyonya Putri mengempaskan tubuh Ipah. Dengan garang ia kembali memburu Onah yang tak berdaya. Dengan bergairah ia mengayunkan pukulan demi pukulan ke kepala Onah.
“Hentikan Nyonya… Hentikan…” Ipah mencoba meraih lonjoran besi. Tapi, dengan sigap Nyonya Putri mengempaskan tangan Ipah. Ia kembali menghajar Onah dengan bergairah. Melihat Onah terpuruk tak berdaya, Nyonya Putri membuang lonjoran besi. Ipah mencoba menolong Onah, tapi dicegah.
Bulan bulat semangka murung dibungkus mendung.
Tawa Nyonya Putri berderai, “Kenapa kamu bungkam?”
Yang terdengar justru tangis Ipah.
“Tertawalah Ipah. Bukankah ini pemandangan yang indah?! Atau kamu ingin melihat pemandangan yang lebih seru lagi?” Nyonya Putri kembali menghajar.
Onah makin tak berdaya. Dari duburnya keluar tinja. Tawa Nyonya Putri pun kmbali berderai.
Bulan bulat semangka terpejam di angkasa.
Ipoah memeluk bantalnya, di atas tikar lusuh di sel yang pengap. Ia merasakan tak ada lagi denyut nadi dan detak jantung pada Onah. Bantal itu kemudian dibaringkan, diperlakukan seperti jasad. Dengan takzim Ipah melakukan upacara kecil, menguntai doa-doa panjang yang mengepung ruang perkabungan. Ipah menyesal tak bias ikut mengantarkan Onah ke pembaringan terakhir. Polisi menyeretnya. Menginterogasinya. Jaksa menjatuhkan dakwaan: Ipah ikut membantu penganiayaan sampai Onah tewas. Seluruh pembelannya ditolak. Majelis Hakim menjatuhkan hukuman baginya selama tiga tahun, potong masa penahanan. Sementara Nyonya Putri justru dibebaskan dari segala tuntutan. Ia dinyatakan menderita gangguan jiwa. Jiwa Ipah terguncang. Pandangannya menerawang. Terbayang lembar-lembar uang melayang-layang dan nyungsep ke kantong-kantong baju seragam.
Ipah tergeragap. Ia merasa mendengar tangis bayi. Tangis itu semula samara lalu jelas terdengar. “Apakah Onah telah melahirkan di kuburnya?” bisik Ipah sambil memeluk bantal. Tangis itu kembali terdengar, namun beberapa saat kemudian makin samara dan berubah menjadi suara sol sepatu. Tapi, suara itu tak membuatnya takut. Ia bangkit menyongsong kedatangan sipir penjara, yang bagai mesin menyorongkan piring seng. Ia pun tersenyum memandang gundukan nasi kecil, lengkap dengan sayur kubis hambar ditambah ikan asin kecil yang berenang-renang di atas kuah yang melimpah. Sejenak matanya terbelalak memandang seiris semangka yang tersandar di bibir gunungan nasi. Ia ganyang makanan itu dengan lahap. Selesai makan, ia menimang-nimang seiris semangka itu, lalu menaruhnya menjadi nisan, di atas bujuran bantal yang dibayangkan kuburan Onah….