Selasa, 26 Januari 2010

Ziarah Arwah-arwah Bayi

Perempuan itu lebih mencintai malam ketimbang siang. Malam memberinya keheningan, tempat ia menyusun rencana pertemuan dengan arwah-arwah bayinya. Demi arwah-arwah bayinya, ia ingin menjadi laba-laba yang setia membangun sarang dengan sulur-sulur lendirnya. Laba-laba itu tak pernah peduli pada angin yang mendadak melabrak dan memporak-porandakan sarangnya. Laba-laba itu akan menyusunnya kembali: seinci demi seinci sulur-sulur lendirnya dibentangkan di antara pojok tembok dengan langit-langit rumah, atau di antara ranting-ranting yang menuding ke langit.
Hidup ini, pikir perempuan itu, memang sarat rencana karena manusia telah dijebak impian. Dijebak? Ah, juga tidak, bantah perempuan itu. Lewat impian, permpuan itu merasa leluasa mengulur-ulur harapan. Dan, ia sangat percaya pada harapan, yang membuatnya mampu bertahan hidup dengan semangat cinta. Ketika cinta itu menggetarkan hatinya, yang terbayang adalah bayi-bayi kecil, puluhan jumlahnya, yang saling berebut puting susunya yang penuh dan padat. Air susunya akan menderas, sederas cintanya pada bayi-bayi mungil yang berjejal-jejal dalam benaknya. Bayi-bayi mungil itu memang tidak pernah dilahirkannya, namun ia measa mengasuh mereka.
Perempuan itu tidak pernah merasa lelah menyunggi impian, sambil menguntai manik-manik kekecewaan yang terkalung dan menjerat lehernya. Tetapi, anehnya, pikir perempuan itu, dirinya idak serta-merta binasa karena didera rasa kecewa. Kekecewaan dan rontoknya rencana telah diubahnya menjadi untaian kenangan dan pelajaran yang mampu memberi darah baginya.
Perempuan itu tidak tahu pasti berapa kali kekecewaan yang menjelma menjadi belati itu menikam-nikam lambungnya, menikam-nikam ulu hatinya. Ya, yang ia rasakan hanyalah rasa nyeri yang mengebor sukmanya. Jika rasa nyeri itu tiba, ia hanya berharap kepada malam untuk memberikan keheningan. Di kolam keheningan itu, ia membasuh luka-luka. Ia tak pernah paham, kenapa malam selalu memberinya aliran tenaga, yang kadang terasa gaib dan embikin seluruh luka jiwanya raib. Sejak saat itu, ia semakin percaya kepada kekuatan malam. Hanya kala malam tiba, ia akan menjumpai bayi-bayi yang tak pernah dilahirkannya.
Dalam doanya yang panjang, kadang-kadang, ia meminta Tuhan untuk mengubah seluruh isi hari dan seluruh detak waktu menjadi malam. Malam dan malam. Ya, malam yang sangat menggairahkan. Namun, ternyata Tuhan kelewat demokratis. Ia membagi hari menjadi siang dan malam. Perempuan itu pun menyerah, meskipun ia menggerutu kenapa harus ada siang hari yang selalu dikutuknya. Siang, pikir perempuan itu, hanya emberinya hiruk-pikuk kerja yang didikte detak jam, target, sedikit upah, dan selebihnya rasa ngilu. Perempuan itu tidak ingin menjadi budak waktu, yang berenang dalam kubangan keringatnya sendiri sambil mengejar benda apa saja yang terapung di sana.

Perempuan itu diam-diam menyesal, kenapa kesadaran itu beru muncul sekarang. Bertahun-tahun tak berdaya, tunduk digiring ke kamp kerja paksa, dengan rangsagan upah ala kadarnya. Bertahun-tahun ia harus memelihara kekuatannya, dan menguah saraf-sarafnya menjadi baja untuk melayani hasrat laki-laki yang begairah mengisap seluruh isi tubuhnya demi beberapa teguk kenikmatan sementara. Entah sudah berapa puluh liter air mani laki-laki tumoah di rahimnya. Entah sudah berapa kali ia harus menguras bakal janin agar tidak menjadi beban hidupnya. Barangkali, jika bayi-bayi itu bisa dilahirkannya, ia akan memiliki puluhan anak yang memenuhi rumah dan halaman. Tetapi, majikan yang menjebaknya menjadi perempuan penghibur, yang kini diistilahkan dengan gagah menjadi pekerja keras seks komersial, melarang dia untuk hamil.
Padahal, ia sangat ingin punya anak. Ia hanya menangis setiap pengguguran bayi itu dilakukan. Ia membayangkan janin-janin itu meronta dalam rahimnya, sebelum lebur menjadi cairan kimia. Ia juga tak bisa membayangan kemarahan janin-janin itu kepadanya. Mereka akan menganggap dirinya sebagai perempuan kejam yang setiap kata dan tindakannya menjadi pisau dapur yang menikam-nikam mereka. Perempuan itu juga tidak sanggup membayangkan jika janin-janin itu mengutuknya sebagai raksasa yang meramu nyawa bayi-bayi dan mereguknya demi kenikmatan. Ia ingin menjelaskan, dan berharap janin-janin itu mengerti, bahwa dirinya ingin melahirkan mereka untuk memasuki hiruk-pikuk dunia dan merengkuhnya dengan cintanya. Ia ingin menjelaskan semuanya. Namun, kesempatan itu tak kunjung tiba. Setiap waktu, ia disergap semacam perasaan bersalah, perasaan berdosa pada janin-janin yang amat dicintainya itu.
Setiap malam, ia khusuk melakukn ziarah rahasia bagi arwah-arwah bayinya yang dirampas hak hidupnya. Ia begitu gembira bertemu dengan mereka. Ia, dengan kasih seorang ibu, menggendong mereka, mengajak mereka bermain, memndikan mereka, dan menidurkan mereka.
Perempuan itu, dengan sisa-sisa ingatan di masa kanak-kanaknya, juga mendongengi arwah-arwah bayinya. Ia sangat bergembira memandang mata mereka berbinar-binar. Lusinan mata arwah-arwah bayi itu menjelma menjdi kristal-kristal cahaya yang membuat dadanya mekar. Di dada yang punuh itu, air susunya tak pernah habis diisap berpuluh-puluh mulut mungil arwah-arwah bayinya. Ia merasakan kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya yang sintal. Ia merasa bahagia ketika dua putingnya itu dilumat arwah-arwah bayinya. Nyanyian pun akan selalu meluncur dari mulutnya seiring derasnya air susunya.
Pada kedua pipi perempuan bermata sayu itu mengalir dua anak sungai setiap ia ditinggalkan arwah-arwah bayinya. Serat-serat kasih saying yang teranyam itu dirasakan mendadak putus. Ia memang sangat mencintai bakal anak-anaknya, yang dihardik agar tidak melihat dunia. Ia tidak perduli, meskipun barangkali janin bayi-bayi itu berasal dari bibit laki-laki yang tidak jelas juntrungannya. Barangkali di antara mereka ada yang berasal dari bibit seorang jahanam atau bedebah busuk. Namun, pikirnya, janin itu tetap janin. Bayi itu tetap bayi, dengan segala kesuciannya. Tak seorang pun berhak mengutuk bayi, meskipun ia lahir dari lorong kegelapan.
Ia sesungguhnya selalu berharap agar dunia yang kejam ini sedikit ibi, dengan memberinya kesempatan untuk menguji janin-janin itu menjalani hidup. Tak soal, jadi apa mereka kelak. Apakah mereka itu akan menjadi sejenis bunglon, kadal, harimau, singa, ular piton, atau menjadi malaikat-malaikat kecil, yang dengan lingkaran aura cemerlang turun dari surga mewartakan berita dari langit. Hmm…

Begitulah, setiap malam perempuan berwajah tirus dan berambut lurus itu selalu menanti kehadiran arwah-arwah bayinya. Ia selalu menunggu mereka di beranda, di antara rerimbunan perdu dan bunga-bunga. Ia membiarkan rambutnya yang tergerai panjang disisir angin pegunungan. Ia berharap arwah-arwah bayi itu turun dari langit, muncul di antara bintang-bintang, yang terasa hanya beberapa depa dari kepalanya. Kadang-kadang tengannya bersusaha meraih bintang-bintang itu. Ia berharap bisa menemukan bayi-bayinya yang mungkin bersembunyi di situ.
Ia juga sering bernyanyi, dengan suara sedikit parau, agar arwah-arwah bayinya keluar dari persembunyiannya. Ia ingin mendekap mereka. Memeluk mereka. Mencium pipi-pipi mereka. Merasakan kehangatan yang luar biasa. Ia berharap malam mau mengabulkan harapannya untuk segera membuka tabir rahasia, di mana anak-anaknya itu berada.
Bermimpi tentang bayi-bayi menjadi satu-satunya kemewahan bagi permapuan itu, yang tinggal di sebuah villa mungil di atas bukit. Villa itu pemberian seorang laki-laki kaya, yang jatuh cinta kepadanya. Laki-laki itulah yang membebaskan ia secara paksa dari seorang agen tenaga kerja wanita yang menjebaknya menjadi pekerja seks komersial. Perempuan itu menurut saja ketika laki-laki itu menjadikannya sebagai kekasihnya. Laki-laki itu setiap akhir pekn selalu mengunjungi dan mengajaknya menyelami samudra sampai ke dasarnya. Ia tidak keberatan, karena diam-diam ia memang suka.
Meskipun hubungan itu telah berjalan jauh dan mendalam, ia merasa tidak perlu tahu siapa laki-laki itu sesungguhnya. Ia hanya bisa menebak-nebak. Mungkin laki-laki itu adalah seorang saudagar yang sukses. Mungkin ia seorang birokrat. Mungkin seorang hakim, serdadu, politikus, makelar, seniman, atau tukang khotbah agama. Mungkin saja ia itu koruptor yang licik dan licin serta tidak pernah tersentuh hokum. Atau, ia malah preman kelas kakap yang punya impian spektakuler merampok semesta seperti Waska, tokoh ciptaan Arifin C Noer dalam lakon Umang-Umang yang pernah ia baca ketika menjadi mahasiswa. Ia tidak peduli.
Yang paling membahagiakannya hanyalah, di villa puncak bukit itu ia bisa memasuki malam dengan sempurna. Malam yang baginya selalu memberikan ketulusan yang menentramkan. Kadang-kadang ia berpikir, jangan-jangan ia lebih mencintai malam ketimbang laki-laki yang menghidupinya. Namun, ia tak peduli. Ia sekedar menjalani hidup ini. Ia ingin seperti air yang mengalir.

Mendadak perempuan itu dikejutkan oleh suara tangis bayi yang ramai. Malam pun seperti tergeragap dan terjaga, seiring desau angina pegunungan yang menyimpan jutaan jarum baja yang menikam-nikam tulangnya. Tangis bayi-bayi itu membikin senyumnya mengembang., membuat matanya berbinar. Ia kembali merasakan kehangatan menjalar ke sekujur tubuhnya. Perempuan itu bergegas bangkit mencari sumber suara. Ia menuju berbagai arah. Rerimbunan perdu dan bunga-bunga disibaknya. Tak ada siapa pun ditemuinya. Tangis bayi itu terasa makin menjauh dan menjauh. Ia kesal. Wajahnya sedikit terlipat. Ia menganggap mungkin suara itu tangis anak-anak jin. Namun, ketika ia hendak menuju beranda, tangis bayi-bayi itu kembali terdengar. Ia kembali bergegas mencari sumber suara. Mendadak tangis bayi-bayi itu berubah menjadi deru mesin mobil yang menjamah halaman villa.
Perempuan itu terkejut, dan hamper jatuh. Matanya silau diterpa sinar lampu mobil yang terang bagai siang.
Mobil itu masih hidup ketika dua orang laki-laki turun. Langkahnya tegap. Perempuan itu mundur beberapa langkah, ketika tahu yang datang bukan kekasihnya. Kecemasan mendadak menyergapnya. Dua laki-laki kekar itu merangsek dan mendekap perempuan itu. Perempuan itu meronta.
“Menyerahlah kamu perempuan sundal!” teriak salah satu dari mereka.
Perempuan it uterus meronta. Namun, dua laki-laki itu terlalu kuat untuk dilawan. Mereka kemudian menyeret perempuan tak berdaya itu ke mobil. Mobil menderu, meninggalkan halaman villa yang memang diterobos bias cahaya lampu dari beranda.

Perempuan itu duduk terpuruk di pojok ruangan remang yang penuh asap. Ruangan yang sudut-sudutnya sangat ia kenali. Ruangan yang secara fasih mengisahkan sepotong perjalanan hidupnya yang keras, terjal, penuh peluh dan keluh. Di ruangan yang tanpa kipas angin itu, beberapa laki-laki telah menunggunya.
“Layani mereka dengan baik!” ujar seorang laki-laki yang suaranya sangat dikenalnya. Suara berat yang penuh dengan arom alkohol. Suara yang setiap kalimatnya berbau ancaman, yang bertahun-tahun menindas jiwanya. Suara yang selalu menghadirkan bayangan mengerikan: kamar remang, laki-laki yang secara kasar membongkar pakaiannya, tubuh yang dirajam deru nafas, dan rasa nyeri yang merajamnya sampai sukma.
Begitulah hari-hari dilaluinya dengan perasaan nyeri di rongga dada. Nyeri di kemaluannya. Hari-hari itu selalu bermakna siang: kerja, kerja, dan kerja demi kepuasan para pembeli tubuhnya. Ia selalu gagal menjumpai malam yang tulus memberikan keheningan. Ia pun tak pernah lagi bisa menziarahi arwah-arwah bayinya. Germo itu telah merampas impian mewah miiknya. Perempuan itu tetap saja berjuang untuk membangun keheningan malam di tengah hiruk-pikik berahi laki-laki yang rakus melumat tubuhnya. Namun, keheningan malam gagal dating. Juga arwah bayi-bayinya yang sering menemuinya. Kini, ia dipaksa berenang-renang di genangan keringatnya. Ia dicengkeram rutinitas yang pelan-pelan membunuhnya.
Perempuan itu keras-keras meronta, menjerit dalam jiwanya. Ia ingin mengadukan segala hal-ihwal sungkawa kepada keheningan malam. Namun, kini keheningan malam itu raib entah kemana. Sekuat tenaga ia kembali bangkit dan membangun persembunyian di rongga batinnya, seperti laba-laba membangun sarang, seinci demi seinci membentangkan sulur dari lendirnya. Di sarang itu, ia berharap bisa bercengkerama dengan arwah-arwah bayinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar