Rabu, 13 Januari 2010

Upacara Menatap Matahari

Di beranda itu, laki-laki renta yang berjalan dengan terbungkuk-bungkuk dan sering mengobral batuk duduk di atas kursi goyang. Rambutnya yang memutih begai perak berkilat-kilat diterpa matahari sore. Laki-laki itu memang sangat mencintai matahari. Pagi dan sore ia selalu setia menjumpai matahari. Menatapnya lekat-lekat tepat di pusatnya dalam beberapa detik, kemudian mengisap udara dan mengembuskannya kembali. Upacara itu dilakukannya berulang kali.
Mata laki-laki itu terasa berkunang-kunang. Dari balik ribuan kunang-kunang itu lalu muncul kereta kencana yang ditarik dua belas kuda putih. Laki-laki tua itu menggapai-gapai kereta kencana. Namun, sais kereta kencana itu -sesosok tubuh dibaut kain putih- hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. Kereta kencana itu pun berlalu meninggalkan kesedihan yang sangat mendalam di rongga dada laki-laki itu. Namun, kesedihan itu tak membuatnya putus asa. Entah kapan, laki-laki tua itu yakin pasti bisa naik kereta kencana yang sangat dirindukannya itu.
Begitulah setiap hari -pagi dan sore- laki-laki tua itu menunggu kereta kancana yang muncul dari balik matahari. Lelaki tua itu yakin, sais kereta kencana itu adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjemputnya.
Lelaki renta itu akan sangat sedih dan terpukul jiwanya jika mendung menguasai langit atau hujan tumpah. Jarum-jarum hujan itu dirasakan merajam jiwanya. Rajaman yang memaksa mulutnya menumpahkan sumpah-serapah, bahkan kutukan. Tapi, sang hujan malah seperti mengejeknya. Sebentar turun, sebentar berhenti. Dan, ketika lekali itu mendongakkan kepalanya memandang langit untuk mencari matahari sang kekasihnya itu, hujan pun mendadak tumpah merajam wajah dan tubuhnya. Lelaki tua itu makin bersemangat menghujat hujan yang bagai dikomando dengan remote control itu.
Akan tetapi, hari itu, harapan laki-laki tua itu kembali mekar. Dipandangnya langit yang resik.Mata laki-laki itu akan dengan lahap menatap matahari. Ada getaran-getaran rasa aneh yang indah merayapinya ketika sinar matahari itu merajam kulitnya, merajam tubuhnya, merajam jiwanya. Ia terus menatap matahari yang bergulir seinci demi seinci hingga mencapai lengkung langit. Selama ia menatap matahari, mulutnya komat-kamit. Entah apa yang ia ucapkan.
Tiga satpam yang menjaga rumah itu merasakan keanehan pada laki-laki itu. Mereka tak mengenali bahasa laki-laki tua itu. Mereka hanya bisa menebaknya, mungkin doa atau mantra. Tapi, bisa juga bahasa purba. Mereka pun merasakan keanehan ketika lelaki itu juga mengajak bicara angin, pepohonan, tanaman, burung-burung, ikan-ikan dalam kolam, bahkan juga pilar besar yang menjaga rumah lelaki itu. Laki-laki tua itu kadang menangis, tetapi kadang juga tertawa.
Tanpa disadari lelaki itu, sebuah mobil menjamah halaman rumah yang besar dan asri itu. Ia pun tak peduli ketika dari perut mobil BMW hitam keluar anak-anak dan cucu-cucunya. Mereka berhambur memeluk laki-laki itu. Cucu-cucunya bergelendotan di punggung eyangnya.
"Jangan Dito, jangan. Nanti punggung eyang patah," ujar wanita cantik dengan setelan baju kembang-kembang musim semi.
"Bapak harus banyak istirahat ya," ujar wanita itu sambil membimbing ayahnya masuk ke rumah.
Lelaki tua itu menatap wajah anaknya. "Kamu Wati ya?" ujarnya pelan.
Wati, lengkapnya Linawati, sedih mendengar pertanyaan itu. Namun, ia buru-buru mengangguk. Takut menyinggung perasaan ayahnya.
"Dimana kamu sembunyikan matahariku? Di mana?" laki-laki itu bicara agak keras, hingga batuknya kembali mengamuk. Linawati, suaminya, dan anak-anaknya kontan terdiam. Kesedihan seperti memukul-mukul dinding hati mereka.
"Di mana matahariku? Di mana?" ujar laki-laki itu setengah membentak.
"Aguh Bapak. Tak ada yang mencuri matahari Bapak. Matahari Bapak masih di sana, di langit," Linawati merasakan hatinya ngilu.
Linawati tampak bicara berbisik-bisik kepada suaminya, Darmawan. Pengusaha muda berwajah ganteng seperti model iklan sabun itu mengangguk-angguk.
"Maafkan kami, baru kali ini bisa kemari. Mas Darmawan baru saja pulang dari Sulawesi. Yah, biasa. Bisnis. Bosnya minta dia menjajaki kemungkinan membuka cabang di sana.." ujar Linawati sambil memijit-mijit pundak bapaknya.
Lelaki tua itu menatap Linawati. Kosong. Kemudian ia tersenyum.
"Doakan kami ya Pak. Kami berhasil memenangkan tender reklamasi pantai."
"Tapi, pantai itu ada mataharinya tidak?"
"Ya jelas ada dong Pak. Kapan-kapan kita ke sana. bapak bisa menatapnya sepuas-puasnya. Tapi, ya itu, Bapak mesti disiplin minum obat. Biar cepet sem..."
"Buuhhhh," timpal lelaki tua itu.
"Wah, Bapak sudah pinter. Coba ingat cucu Bapak ini siapa namanya?"
"Babi..., ya Babiiii"
"Masak Babi? Bobby Pak... B-o-b-b-y. Bulan depan dia mau sekolah ke Amerika. Lha kalau yang ini siapa?"
Lelaki tua itu terdiam sesaat, lalu mengucap. "Sapi.. Ya, Sapi.."
"Masak Sapi sih Pak? Shophie.... Pak... S-o-p-h-i-e. Lihat cucu Bapak cantik kan?"
"Ya...ya... Tapi masih cantikan matahari..."
Kepedihan merambati hati Linawati, Darmawan, dan kedua anaknya.

Linawati dan tiga saudaranya -Hendra yang jadi pengusaha real estate, Mila yang jadi pengusaha kayu lapis, dan Tedy yang jadi eksportir mebel- telah dua kali membawa lelaki tua itu ke Amerika untuk pengobatan stroke. Yang pertama ketika terjadi penyumbatan pembuluh darah di kepala dan yang kedua ketika terjadi pendarahan otak. Sebagai mantan gerilyawan pada masa revolusi fisik, tubuh lelaki itu ternyata sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari penyakitnya. Dokter-dokter bule itu hanya geleng-geleng kepala ketika kesehatan laki-laki tua itu kembali membaik. Padahal, mereka telah memvonis hidup lelaki tua itu hanya tinggal sebulan. Maka, ketika stroke ketiga menyerang lelaki itu, Linawati dan ketiga adiknya tak terlalu cemas. Mereka sangat yakin, ayah mereka mampu mengatasinya. Keyakinan mereka terbukti, lelaki tua itu hanya membutuhkan perawatan sekitar sebulan di rumah sakit Amerika. Sesudah itu, laki-laki tua itu meninggalkan kursi rodanya dan bisa berjalan meskipun terbungkuk-bungkuk.
Memandang foto ayahnya yang berpakaian seragam, Linawati masih merasakan tatapan mata yang nanar dan geliat semangat yang mengakar pada diri ayahnya itu. Ketika masih duduk di bangku SMP, Linawati senantiasa penasaran melihat ayahnya selalu melakukan upacara menatap matahari pada pagi dan sore. Rasa ingin tahu menggelitiknya untuk bertanya.
"Matahari itu pusat tenaga hidup. Kalau engkau mampu menguasainya, engkau pun akan menguasai dunia, menguasai hidup," ujar ayahnya.
Ucapan itu kembali terngiang di telinga Linawati. Ia sangat yakin, pendapat ayahnya itu benar, terbukti, karir ayahnya begitu melesat. Tidak hanya sukses di bidang keprajuritan, tapi juga sukses di bidang politik. Ketika Linawati menjadi mahasiswa, ayahnya telah menjadi gubernur. Posisi ayahnya yang cukup penting itu mampu meratakan jalan baginya dan adik-adiknya dalam berkarier. Jaringan ayahnya begitu luas. Ia punya hotline kepada tokoh-tokoh penting di Republik ini. Waktu itu, Linawati sampai menganggap ayahnya punya ludah api: apa yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Ia membuktikan sendiri, hanya sekali telepon, ayahnya mampu memberikan sejumlah proyek kepada dirinya: jalan tol, pom bensin, pasar swalayan, hotel, bisnis instant food, dan lain-lainnya. Begitu pula adik-adkinya yang mengikuti jejak bisnisnya.
"Semua itu karena aku setia pagi dan sore menatap dan mengisap tenaga matahari," ujar ayahnya waktu itu.
Namun, tenaga matahari yang telah lebur dan luluh ke dalam darah lelaki itu, tak mampu menolong ketika lelaki itu terlibat dalam perkara korupsi proyek bendungan yang menenggelamkan belasan desa. Selain dituduh menilep uang proyek bernilai Rp 90 milyar,lelaki itu juga dituduh melakukan kekerasan, dengan melenyapkan nyawa empat pemuda demonstran yang melawan megaproyek itu. Meskipun telah menjadi tersangka kasus korupsi dan persekongkolan pembunuhan, lelaki itu tidak ditahan. Pengaruhnya kepada pejabat penting dan penegah hukum ternyata lebih kuat. Ia hanya dikenai wajib lapor ke kejaksaan setiap minggunya. Dan, karena surat dokter pribadi menyatakan lelaki itu sakit, maka justru petugas kejaksaanlah yang mendatangi rumah lelaki tua itu setiap minggu. Setiap menghadapi lelaki tua itu, petugas kejaksaan merasa keder. Seluruh keyakinan dirinya mendadak lumer dan mencair menjadi butir-butir keringat dingin.
"Jadi daripada sodara ini mau menanyaken daripada uang poyek itu? Boleh. Selaku warga negara yang baik dan taat kepada hukum saya akan lila legawa menjawab pertanyaan daripada sodara ini. tapi, saya mengingatken daripada sodara ini, saya ini telah menjalanken daripada amanat pimpinan pusat secara murni dan konsekuen. Apalagi daripada sodara ini mengenal saya secara baik. Saya pejuang yang jujur. Selalu bekerja tanpa daripada pamrih. Jadi, tuduhan bahwa daripada saya ini melakukan daripada korupsi dan kekerasan, itu semata-mata fitnah. Jadi, jelas ya?" ujar lelaki tua itu, yang selalu menyisipkan tawa dalam setiap lagu kalimat.
Jaksa itu mencoba mengejar jawaban dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan. Tapi, mendadak ada semacam kekuatan yang membekap mulutnya. Jadilah pemeriksaan itu sekedar ramah-tamah biaa dan tak pernah menyentuh persoalan.
Tim kejakssaan merasa kesulitan. Setiap jawaban yang keluar dari mulut lelaki tua itu tak pernah jelas. Menurut tim dokter, lelaki tua itu mengalami gangguan atau kekacauan memori. Yang keluar dari mulutnya kadang hanya terdiri dari kumpulan vokal, kadang hanya konsonan. Atau, kaalu toh ada jalinan konsonan dan vokal, tak pernah membentuk makna. Lelaki tua itu lebih banyak "berbunyi" daripada bicara, sehingga akhirnya pemeriksaan itu dihentikan, atau terpaksa berhenti dengan sendirinya.

Begitulah, laki-laki itu setiap hari, pagi dan sore, selalu menatap matahari, sang kekasih, yang dianggap telah memberikan sumber tenaga, hingga ia tua. Dan ia selalu merindukan kereta kencana yang berkilauan dan ditarik dua belas ekor kuda putih, dengan saisnya yang berpakaian serba putih.
Namun, sore itu, ketika rembang petang terbentang, laki-laki itu terkejut. Dari balik awan gelap muncul kereta hitam yang ditarik puluhan serigala hitam, dengan sais berkain serba hitam. Kereta itu berhenti tepat di depannya. Sais itu turun dengan wajah menyeringai siap menerkam. Tampak gigi-gigi dan taringnya berlepotan darah. Laki-laki itu mundur beberapa langkah. Namun, sais itu terus merangsek hingga ia terpojok. Sais itu dengan paksa dan kasar menarik tubuh lelaki itu. Ia meronta dan mencoba melawan, namun sia-sia. Tubuh lelaki tua itu diseret dan dilemparkan ke dalam kereta.
Di dalam kereta itu ratusan ular mematuki tubuh lelaki itu. Lelaki tua itu menjerit dan meronta, namun, semakin keras ia menjerit, ular-ular itu semakin ganas mematuk dan memagut. Darah segar pun muncrat dari pori-pori yang ternganga lebar. Tubuh laki-laki tua itu terkapar bersimbah darah.

Linawati dan ketiga adiknya cemas melihat ayahnya terjatuh dari kursi goyang dan mengejang-ngejang kesakitan. Serta merta mereka membopong ayah mereka ke ranjang. Dokter pribadi menyuntikkan cairan ke tubuh lelaki itu. Namun, lelaki itu tak kunjung tenang, bahkan gema jeritannya semakin panjang. Ratusan ular ganas tu dengan bersemangat tanpa henti mematukinya,memagutnya, hingga lelaki tua itu tak berdaya. Darahnya membeku. Tubuhnya membiru.
"Maafkan saya, Saya telah gagal menolong Bapak dari serangan jantung," ujar dokter sambil menyeka keringat dinginnya. Linawati, ketiga adiknya, serta anak-anak mereka hanya saling pandang dan akhirnya menunduk. Linawati mencium pipi ayahnya, dengan mata sembab. Hendra terpaku dan mematung dengan kesedihan yang membeku. Mila dan Tedy menangis histeris, seolah ingin menahan nyawa ayahnya yang oncat dari raga.
Sais kereta yang berwajah bengis, dengan gigii dan taring berlepotan darah itu puas memandang mayat laki-laki tua yang terbelit ratusan ular ganas. Ia pun memicu kereta hitamnya yang ditarik puluhan serigala hitam. Membawa mayat laki-laki tua itu, entah kemana...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar