Rabu, 13 Januari 2010

Palaran

Gamelan itu mengalun, menerobos celah-celah udara yang basah. Malam yang baru saja beranjak menjadi pagi seperti tergeragap oleh suara itu. Dan, angin yang bertiup dari bukit-bukit yang jauh mengirimkan suara itu ke peraduan sang Adipati. Suara itu menikam gendang telinga. Ia tergeragap bangun. Wajahnya tampak tegang.
Suara gamelan itu terus bertalu. Menghentak-hentak. Nada kawin dengan nada dan beranak-pinak irama. Dengan kedua tangannya, Adipati menutup telinganya. Tapi, suara gamelan itu terus menghantam telinganya. Mengahantam ulu hatinya. Kedua tangan itu gemetar. Adipati menjerit keras. Sangat keras. Dengan setengah telanjang, Nyi Adipati bangun. Wajahnya pucat pasi melihat suaminya terguling-guling di ranjang sambil terus menjerit. Nyi Adipati mencoba menenangkan suaminya.
"Siapa...siapa yang kurang ajar itu! Siapa yang berani menabuh gamelan itu! Siapa yang telah berani menantang aku," ujar Adipati agak gagap.
Nyi Adipati yang menyimpan keheranan, tak paham dengan ucapan suaminya.
"Saya tak mendengar suara gamelan, Kang Mas. Mungkin Kang Mas hanya terganggu mimpi buruk."
"Tidak, gamelan itu jelas terdengar"
Gamelan itu terus mengalun di pagi yang sunyi. Menembangkan Palaran, yang berisi tantangan dan isyarat peperangan. Tembang yang membuat telinga Adipati merah padam.
"Kau dengar suara itu?" Adipati memandang istrinya. Yang ditanya menggeleng. Pertanyaan itu kembali diulang, tapi Nyi Adipati tetap menggeleng.
"Semprul. Kamu bisanya cuma macak dan manak!" bentak Adipati kesal.

Sudah hampir seminggu Adipati terganggu suara gamelan itu. Ia tak bisa tidur wajar. Selera makannya merosot tajam. Di ranjang, ia makin dingin dengan istri dan selir-selirnya. Suara gamelan itu dirasakan mengancam dirinya. Suara itu mengingatkannya pada peristiwa puluhan tahun lalu, ketika ia dengan penuh gagah berani mengalunkan gendhing Palaran untuk menantang Adipati Sepuh yang dinilainya tak becus memimpin Kadipaten Padas Lintang. Dan, Palaran yang ditalukan ternyata mampu menyulut perlawanan di kalangan rakyat, yang sejak lama kecewa terhadap Adipati Sepuh. Padas Lintang, berubah jadi kolam darah. Mayat Adipati Sepuh dan ribuan mayat lain terapung di atasnya.
Kini, ketika Palaran itu menggema, wajah Adiipati Sepuh muncul di benak Adipati Anom. Wajah yang koyak-moyak oleh parang dan tombak, namun masih mampu mengejeknya. Ia sangat geram dan miris memandang wajah kekalahan itu. Jantungnya berdetak sangat keras diguncang-guncang kecemasan akan kehancuran yang hendak menimpanya.

"Cari mereka! Gantung mereka! Cari juga sisa keturunan Adipati Sepuh!" perintah Adipati kepada Tumenggung. Berpuluh-puluh mata-mata disebar ke seluruh penjuru Kadipaten, mencari sumber suara gamelan dan menangkap orang-orang yang berani mengalunkan gendhing Palaran. Tapi mereka hanya menangkap udara hampa dan wajah-wajah kosong yang menyimpan ketakutan. Beberapa pandai besi yang selama ini membuat gamelan juga diperiksa dan dikorek tuntas. Begitu pula dengan beberapa priagung yang menyimpan gamelan di pendoponya. Gamelan-gamelan itu pun akhirnya disita atas nama keamanan. Dan, dikeluarkan keputusan: siapa pun dilarang keras menabuh gamelan. Jika melanggar, hukum gantung sanksinya.
Seluruh warga kadipaten keder oleh keputusan itu. Gamelan menjadi benda haram. Dalang-dalang, pemain-pemain ketoprak, atau jaran keang dan wayang kulit tak berani memprotes peraturan yang jelas merugikan mereka. Tapi, demi tuntutan perut, mereka toh tetap harus main, tanpa iringan gamelan. Mulut-mulut merekalah yang kemudian menggantikan gamelan. Tapi, karena suara mulut itu pun dianggap mengganggu sang Adipati --karena ada yang sembunyi-sembunyi melantunkan gendhing Palaran oleh tuntutan lakon-- akhirnya juga dilarang.
Tanpa gamelan dan mulut terbuka membuat Kadipaten Padas Lintang menjadi hutan belantara sunyi. Setiap detik orang menghirup hawa ketakutan. Setiap detik orang mencium bau kematian. Kehidupan membeku.
Peraturan itu membuat hati Adipati sedikit lega dan tenang. Suasana aman itulah yang senantiasa diinginkannya. Untuk memberi hiburan kepada warga, Adipati mengumpulkan ahli-ahli gending di Kadipaten. Mereka diperintahkan memainkan gamelan dan gending-gending yang mengegungkan kejayaan Kadipaten dan berisi puja sembah kepada sang Adipati. Satu dua kali rakyat berduyun-duyun menyaksikan tontonan menarik itu. Tapi, untuk hari selanjutnya, pertunjukan itu sepi penonton. Gending-gending itu mengalun tanpa darah, tanpa gairah, tanpa greget. Tapi, sang Adipati terus memerintahkan untuk memainkannya. Gending demi gending diulang-ulang, gemanya memenuhi semesta Kadipaten Padas Lintang yang lungkrah.

Dengan telinga tersumpal kapas, Adipati merasa terbebas dari suara gamelan Palaran yang dikhawatirkan mendadak hadir. Suara gamelan yang ia sendiri tak tahu siapa-siapa penabuhnya. Ketika desa-desa tertidur, dari balik jendela kamarnya ia memandang langit, memandang bulan yang pucat. Ia membiarkan istrinya terkulai di ranjang dibelai impiannya.
Angin bertiup kencang menerobos jendela. Tubuh Adipati dibalut hawa dingin yang dirasakan aneh dan wingit. Seluruh ruangan di sekitarnya berubah kusam.
Angin mendadak berhenti ketika gending Palaran yang sangat ia benci itu kembali didengarnya. Ia memperketat kapas yang menyumpal telinganya. Tapi, gumpalan kapas itu sia-sia menahan suara. Seluruh pori-porinya tertembus gamelan yang mengalunkan Palaran.
Berbarengan dengan suara itu Adipati mendengar ringkik ratusan kuda. Lalu ditatapnya pasukan aneh dan kerumunan orang yang berdiri di depannya. Wajah mereka merah terbakar. Wajah-wajah yang tak pernah ia kenali. Wajah-wajah yang membisu. Wajah-wajah dengan sorot mata dingin, tapi mengerikan. Kerumunan itu mendesak, membuat Adipati mundur beberapa langkah. Tangannya menghunus keris yang terselip di pinggangnya. tanpa sedikit pun ketakutan kerumunan tak bersenjata itu terus mendesaknya.
"Kalian siapa? Kalian mau apa? Kalian minta apa?" bentak sang Adipati. Kata-kata itu menerpa udara kosong.
Kerumunan orang-orang itu bungkam. Mereka menjawabnya dengan sorot matanya yang merah dan nanar. Mata mereka menatap lekat-lekat wajah Adipati yang culas. Tatapan itu dirasakan sangat menghujam. Kecemasan Adipati memuncak.
"Kalian jangan bodoh. Kalian jangan ingin mati konyol!" bentak Adipati sambil mngacungkan kerisnya.
Kerumunan orang itu terus bergerak. Adipati mengayun-ayunkan kerisnya. Merobek-robek udara. Orang-orang itu terus mendesak, membuat Adipati terpojok. Adipati terus mengayun-ayunkan kerisnya. Satu-dua orang itu tumbang tertikam lambungnya. Tapi, orang-orang yang lain tidak surutMereka terus merangsek. Di pojok ruang itu Adipati sudah terkepung. Tak berdaya. Ia merasa menghirup hawa kematian. Sontak orang-orang itu merampas keris Adipati dan menghujamkannya ke dada Adipati.
Adipati tumbang di ranjang dengan meninggalkan jeritan panjang. tubuhnya berlumuran darah dengan keris tertancap di dadanya.
Nyi Adipati mendadak terbangun. Ia menjerit sangat keras. Orang-orang terbangun dan berlari ke sumber suara.
"Kang Mas Adipati bunuh diri!" ujar Nyi Adipati, cemas.
Angin kembali bertiup. Daun-daun jatuh. Mega-mega terurai. Bulan terang, kemilau. Cahayanya bergoyang, terpantul di air sungai yang terus mengalir. Angin mengirimkan kabar bahwa pagi sudah datang. Kehidupan Kadipaten Padas Lintang bangkit, seperti biasa. Mereka menganggap kematian Adipati sebagai hal yang juga biasa.
Suara gamelan sunyi tak terdengar lagi sejak kematian sang Adipati itu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar