Selasa, 26 Januari 2010

Engkau Tak Lahir dari Rahim Serigala

Tidak seperti biasanya, Ibu selalu mematikan televisi setiap mata kami asyik menikmati kelebatan gambar dan suara yang merampas perhatian. Ruang tengah yang semula hidup mendadak padam. Kami pun saling memandang.
“Perut kalian tidak akan kenyng karena pidato itu,” wajah Ibu sedikit tegang.
“Iya, tapi ini pdato penting. Pk Menteri sedang menjelaskan kenapa harga BBM dan sembako naik,” aku mencoba menghidupkan televisi, tapi dengan cepat Ibu merampas remote control.
“Lebih baik kamu antre minyak di kelurahan!” Ibu menyodorkan uang dan kartu pengambil jatah. “Kita punya jatah tiga lima liter,” pandangan Ibu yang nanar menuntunku untuk keluar rumah sambil menenteng jerigen.
Hanya sekali itu Ibu melarang kami nonton televisi. Rupanya larangan itu pertama sekaligus terakhir. Sejak saat itu, kami tak tahu kemana televisi kami raib. Sokra, adikku, bilang, televisi 14 inci itu sedang “disekolahkan” di tempat Ibu Mantri Suntik.
“Ternyata, tidak hanya manusia yang bodoh. Televisi pun juga bisa tolol,” gurauku.
“Nanti kalau Ibu dapat pinjaman dari Bu Kadar pasti televisi itu kembali “pintar” dan kta bisa nonton sepak bola atau para pejabat yang hobinya melawak,” ujar Sokra dengan wajah beku.
“Untuk menjadikan televisi itu kembali “pintar” Ibu harus menebus berapa?”
“Saya dengar lima ratus ribu. Belum ditambah dengan bunganya.”
Aku geleng-geleng kepala mendengar jumlah yang cukup fantastis itu untuk ukuran kantung keluarga kami yang cekak. Dan, aku tak mampu membayangkan bagaimana usaha Ibu, yang tak kalah fantastisnya, untuk mendapatkan uang sebesar itu. Pinjam Bu Kadar? Bukankah utang Ibu sudah belasan juta?
“Aku dengar Ibu mau mengiris tanah halaman belakang rumah. Sudah ada yang menawar tiga ratus ribu per meter. Tapi, Ibu minta empat ratus ribu.”
Kepalaku terasa berat. Ucapan Sokra menjelma menjadi ledakan di tempurung kepalaku. Terbayang di benakku, hamparan tanah ratusan meter persegi itu teriris dan terlipat, seiring dengan pohon-pohon nangka, mangga, dan melinjo yang menjerit digorok gergaji mesin. Mereka tumbang secara slow motion. Berderak-derak. Lalu, sepasukan kuli bangunan menghajar tanah kami itu dengan pacul, membuat lubang panjang untuk fondasi. Truk-truk hilir-mudik menumpahkan batu, pasir, dan kapur: Deru molen yang mengaduk semen dan pasir serta kapur mengebor gendang telinga kami. Orang-orang kerja berhari-hari, dengan kulit berkilat-kilat penuh keringat, menata batu-bata demi batu-bata. Mendadak mataku terasa perih terganjal bayangan buruk itu.
“Harta kita tinggal tanah,” ujar Ibu setengah bergetar. Kulihat tatapan matanya tetap tenang, meskipun kurasakan Ibu berusaha keras menahan air matanya. Kulihat tangannya yang keriput tekun mengaduk adonan gandum untuk dibuat donat.
“Tapi, bukankah Ibu bisa minta tolong Mas Jaswadi, Mas Eko, Mbak Menik, atau Mas Jalu. Mereka tidak akan miskin hanya karena memberi bantuan Ibu. Duit lima puluh juta sampai tujuh puluh lima juta tak berarti apa-apa bagi mereka.”
“Minta uang mereka?” Ibu menggelengkan kepala. “Aku tidak akan membebani mereka. Aku merasa tak berhak menikmati kesuksesan mereka, meskipun aku ni ibunya. Tak pernah terpikir aku menagih jasa atas seluruh pengorbananku. Aku adalah ibu, bukan orang yang menyewakan rahim bagi anak-anaknya…”
“Iya, tapi mestinya mereka bisa memahami penderitaan Ibu.”
“Untuk apa? Apalagi aku merasa tidak sedang menderita.”
“Tapi, bukankah Ibu harus mengiris tanah?”
“Itu bukan penderitaan Cah Bagus. Bukan. Tapi, pengorbanan demi kebahagiaan kita bersama. Setidaknya bagi aku, yang merasa sangat bahagia melihat kamu dan adik-adikmu tumbuh mekar, berkembang dan mampu membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kiri,” Ibu menghentikn tangannya mengaduk adonan gandum. “Kau paham, Cah Bagus?”
Aku terdiam. Tatapan Ibu menikam rongga dadaku.
“Aku berharap, hidupmu dan adik-adikmu selamat. Tidak menjadi orang culas yang sibuk menanam tebu di mulutnya, hanya untuk menutupi taring-taring yang berkiat-kilat setiap melihat urat leher orang lain. Atau, menjadi orang yang tega bertahta di atas tumpukan pangkatnya sambil tertawa cengengesan, sementara begitu banyak orang hanya mampu membayangkan rasa kenyang. Kamu dan adik-adikmu tidak lahir dari rahim serigala…” mata Ibu tampak sembab. Aku menjadi tidak tega untuk mencecar Ibu soal keputusannya mengiris tanah. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan Ibu, yang menyusun bulatan demi bulatan gandum seperti menyusun impian-impiannya, sebelum akhirnya diceburkan ke dalam wajan penggorengan. Beberapa saat kemudian menguap bau sedap. Aku mencium bau donat-donat itu seperti mencium harum penderitaan Ibu.
Lewat bulatan-bulatan khas kampung itulah Ibu menyusun serpihan-serpihan impiannya menjadi sarang hangat bagi keluarga. Ibu tak peduli sarang kehangatan itu berpahatan lubang-lubang yang begitu gampang diterobos angin kencang. Bulatan-bulatan donat itu memang menghasilkan keuntungan yang tidak begitu besar. Cukup sekadar untuk makan dan biaya sekolah. Tapi, Ibu bukan jenis orang yang terdidik menjad rakus, misalnya tanpa rasa bersalah menipu pelanggan.
Pernah, Ibu tersinggung ketika salah seorang adiknya, Om Narto, menyuruhnya berhenti menjual donat-donat itu, meskipun Om Narto, yang menjadi anggota DPR itu sanggup memberikan uang “pensiun” kepada Ibu. Apa boleh buat, bulatan-bulatan donat telah menjadi dunia Ibu. Di situ berleleran tetesan kebahagiaan yang mampu mengusir kesepian pada usia senjanya. Ya, Ibu sangat kukuh menggengam dunia donat itu, sejak ayah meninggal lima tahun lalu karena serangan stroke. Sepeninggal Ayah –yang hanya mewariskan uang pensiunan seorang guru yang tidak terlalu besar- Ibu membajak waktu, bergumul dengan adonan gandum, didih minyak goring, kepulan asap, kocokan telur, simbah peluh, dan rasa lelah yang merampas tubuhnya. Ia menitipkan donat-donat itu di warung-warung kampung, dan akhirnya berkembang ke took-toko. Donat Ibu terkenal enak.

Lewat Kang Marto Bulus, makelar tanah yang mulutnya licin itu, karena setiap hari berkumur minyak pelumas, sebagian tanah kami jatuh ke tangan Pak Bei, peternak ayam potong yang punya puluhan karyawan. Pak Bei, yang bisa dibilang menggenggam seluruh jaringan perdagangan ayam potong di kota kami, tidak menawar harga yang disodorkan Ibu. Tanah seluas 500 meter persegi pun terlipat.
Sejak tanah itu dibangun, kami disiksa hangar-bingar mesin pengaduk semen atau hantaman palu, pacul dan martil yang berdebam-debam. Belum lagi ucapan kasar para pekerja bangunan yang selalu menggoda Arum, adikku yang tengah mekar di balik blus seragam sekolahnya. Ucapan-ucapa mereka tidak lagi gurauan, tapi sudah menjurus ke pelecehan. Darahku yang mendidih membimbing tanganku untuk menampar mulut para kuli kasar itu. Tapi, Ibu mredakan amarahku, “biarkan saja. Kamu dan adikmu tidak menjadi lebih gagah hanya karena mulut mereka kamu tampar.”
“Tapi, mereka akan semakin kurang ajar!”
“Nah, kalau sudah begitu, kamu berhak menampar harga diri mereka dengan ucapan yang halus.”
“Bagaimanpun aku ini laki-laki, Bu! Aku punya tangan dan kaki!”
Ibu memandangku sambil menggelengkan kepala. Tatapannya dalam. “Aku akan menemui Pak Bei untuk menegur para pekerja itu. Atau kalau perlu kita tuntut mereka,” ujarnya pelan, tandas, namun tetap dengan senyum setengah mengembang.
Senyum itu membuka peluang bagiku untuk minta uang. Keinginan itu sudah lama kutahan. Apalagi Ibu baru saja menerima pelunasan uang penjualan tanah dari Pak Bei. Telah lama aku memimpikan sepeda motor besar seperti yang sering diiklankan di teve, yang terus-menerus merongrong tabunganku.
“Ibu tinggal menambah tujuh juta,” ujarku sambi membantu Ibu mengaduk adonan gandum.
Untuk apa motor besar itu? Kamu ingin memboncengkan pacarmu seperti dlam film-film teve yang membosankan itu?”
“Bukan soal itu. Tapi, aku memang butuh kendaraan. Mosok aku pakai motor bebek yang sudah butut itu?”
“Tapi, itu tinggalan bapakmu. Kamu harus rajin merawatnya.”
“Iya…tapi…aku sangat ingin…”
“Kamu jangan mimpi. Uang hasil penjualan tanah kita sebagian besar sudah kukirim kepada kakakmu Jaswadi. Katanya, bisnis barang antiknya hancur, ditipu makelar dari luar negeri. Dia rugi ratusan juta…”
Kepalaku terasa bepusing-pusing dan pecah. Muncul wajah si benalu Jaswadi, yang membuat aku muntah. Kuhajar, kutonjok, kucabik dan kucakar wajah itu dalam erangan kemarahanku.
“Kamu tak perlu marah. Kalian semua anak Ibu. Kalau Jaswadi butuh bantuan dan aku mampu, kenapa tidak kubantu?” Ibu masih berucap dengan suara emasnya, yang kini membuat aku mulai bosan mendengarnya.
“Mestinya Mas Jas bisa menjual mobilnya yang jumlahnya sampai tiga. Atau menjual rumahnya di Pondok Indah, Cinere, atau di Matraman. Tidak malah…”
“Kalau kamu masih ngotot ingin motor besar itu, Ibu bisa memenuhi. Tanah di samping rumah kita masih cukup luas untuk diiris. Kamu mau?”
Dadaku mendadak sesak. Dengan perasaan berat kugelengkan kepala. Tangan Ibu meraih kepalaku mengelus-elus seperti mengusap kepala bayi yang sedang merengek di pelukannya. Kurasakan tetesan air mata hangat Ibu membasahi keningku.
“Aku hanya ingin Jaswadi selamat. Dan tetap mampu membedakan mana tangan kiri dan tangan kanannya…” bisik Ibu.
“Tapi, perhatian Ibu yang berlebihan justru tidak mendidik Mas Jas.”
“Tapi aku yakin, kangmas-mu sudah sangat terpukul dengan pemberian Ibu. Percayalah, dia masih punya harga diri, dan ingat jika aku harus membesarkan dan menyekolahkan kamu dan adik-adikmu…”

Sepulang dari kuliah aku dikejutkan oleh kedatangan seorang tamu yang duduk di beranda. Aku langsung menemui Ibu yang sedang membuatkan minuman untuk tamu itu. Katanya tamu itu dari Glodok.
“Jadi, tanah samping rumah tetap Ibu jual?”
Ibu mengangguk sambil terus mengaduk minuman.
“Untuk apa?”
“Kakakmu, Menik, mau buka usaha periklanan. Dia butuh modal besar. Katanya untuk membeli kamera, mesin editing, aahhh entah…”
Kepalaku kembali berputar-putar. Tak paham, kenapa kakak-kakakku mendadak menjelma menjadi serigala yang tega mengoyak dada induknya sendiri.

Bidang demi bdang tanah kami lepas, melayang dan terlipat di saku kakak-kakakku. Aku kembali tak paham, kenapa orang-orang yang merasa mampu hidup mandiri ternyata rapuh, dan harus membiayai citra kemandirian itu dengan menjadi benalu bagi Ibu, sang pohon tua.
“Harta kita tinggal tanah. Kalau kamu iri kepada kakak-kakakmu, aku mau mengiris sebagian tanah itu untuk kamu. Halaman depan rumah kita masih luas. Kita bisa menjualnya kapan saja,” suara Ibu terdengar terisak.
Aku terdiam. Berdiri bagai patung es yang terus meneteskan kesedihan, keharuan, tapi juga kejengkelan dan kemuakan kepada para benalu yang tidak tahu malu itu.
“Kalau ternyata nanti Mas Jalu juga ingin jatah tanah, apakah Ibu juga akan memenuhinya?”
Ibu mengangguk.
“Kalau nanti Mbak Tuning juga minta, Ibu akan memenuhinya?”
Ibu mengangguk, “Kalau toh kamu juga meminta, aku juga akan mengangguk.”
Ucapan Ibu kembali menikam rongga dadaku.
“Saya kira sudah saatnya Ibu istirahat, menikmati sisa hidup. Tak perlu memikirkan anak-anak Ibu yang selalu bikin repot,” kucoba menghalau rasa galau Ibu.
Tapi, seperti biasanya, Ibu hanya menggeleng,”Mungkin kamu menganggap aku ini lebih celaka dari induk ayam, yang punya batasan waktu untuk nyapih anak-anaknya. Namun, aku tak pernah merasa menjadi Ibu yang celaka. Aku sangat bahagia. Bahkan, ketika aku harus kembali mengiris tanah untuk kakakmu Eko, yang ingin buka usaha sejak ia dipecat dari pekerjaannya. Aku hanya ingin keluarga besar kita rukun dan hidup selamat. Dan mampu membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kirinya.”
Ibu beranjak ke dapur, meninggalkan aku sendirian di ruang tengah. Beberapa saat kemudian bau sedap gorengan donat menguar menguasai ruangan. Aku mencium bau harum penderitaan Ibu. Entah sampai kapan Ibu bisa bertahan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar