Rabu, 13 Januari 2010

Sungkawa Seiris Semangka

Jantung perempuan itu tak lagi berdegup keras mendengar langkah sepatu, yang nada iramanya teratur bagai dipimpin partitur. Suara sol sepatu itu kini telah menyatu dalam denyut nadinya, dalam degup jantungnya, dalam setiap tarikan nafasnya. Suara sol sepatu itu pun telah hadir sebagai orkestra kecil dan sederhana, yang begitu saja muncul di setiap waktu, di ruang sunyi batinnya, memukul-mukul rongga dadanya, memantulkan gema yang ngelangut dan kadang menimbulkan rasa takut. Namun, rasa takut itu kini telah mengungsi entah kemana, setelah hamper sembilan bulan ia mendiami sel penjara. Bahkan kini suara sol sepatu itu selalu dirindukannya. Mereka, nada-nada sl sepatu itu, bagaikan gema kerinduan handai taulan yang datang dan menghilang diisap pengap udara, dingin lantai, dan tembok sel penjara yang kukuh angkuh mengurung dirinya.
Begitulah, setiap hari perempuan itu selalu menjalani upacara rutin: bangun pagi dengan sisa-sisa keletihan jiwa yag bergelayutan, dengan sisa mimpi buruk dan sisa kantuk yang melekat di matanya. Kemudian, ia songsong sorongan piring seng dengan gunungan kecil nasi, sayur kubis hambar dengan kuah melimpah, dan seekor ikan asin kecil berenang-renang di lautan kuah. Menu yang setia hadir, namun nyaris gagal menerbitkan selera makannya. Perasaan mual masih saja menguasai lambungnya.
Pagi itu, ia sedikit kaget melihat seiris semangka dengan daging merah segar bersandar di gundukan kecil nasinya.
“Ipah, makanlah walau sedikit agar kamu tidak sakit,” ujar sipir penjara sambil pergi. Tidak seperti biasanya, sipir itu memanggil namanya. Tidak seperti biasanya, ada buah dalam menu makanannya, piker Ipah yang masih disergap rasa kaget dan heran. Ia menduga-duga, bapak-ibunya atau sanak saudaranya mengirimkan buah kepadanya. Ia tidak heran kenapa yang sampai kepadanya hanya seiris, karena mungkin saja para petugas penjara itu juga terbit air liurnya melihat semangka yang ranum. Tapi, kenapa harus semangka? Dadanya mendadak terasa sesak. Seiris semangka yang kini pamer kesegaran di depan matanya itu, baginya, menyimpan kenangan kelam. Pandangan Ipah menerawang, mengarungi langit-langit sel, merabai dinding-dinding sel. Pita ingatannya yang masih segar berputar cepat. Gabar-gambar dan peristiwa demi peristiwa pun terpapar. Lalu kepingan-kepingan ingatan itu membentuk seraut wajah. Semula samar, kemudian jelas benar: wajah Onah!
“Ipah, hanya semangka yang aku suka. Entah kenapa. Mungkin, juraganmu kakung dulu waktu masih berpacaran denganku selalu membawa semangka. Air buah itu selalu mengguyur kerongkongan kami setiap kami habis bercinta. Entah kenapa, setelah kami makan buah itu, gairah kami yang semula padam membara kembali. Kami pun kembali bercinta. Habis-habisan. Sampai kemudian aku hamil dan melahirkan Jeremy yang kini kuliah di luar negeri. Dan tak terasa, setelah kami berumah tangga hamir 23 tahun, buah semangka itu tetap saja kami gemari. Ya, meskipun kami bias saja mempeli buah peer, apel, strawberry, atau salak pondoh Sleman…” ujar Nyonya Putri dengan tawa berderai.
Ipah merasa tidak ada yang lucu. Tapi toh terpaksa ikut tertawa, bukti loyalitasnya kepada juragan yang telah diikutinya hamper tuuh tahun. Ia ngenger, mengabdi pada keluarga pengusaha itu bersama kawannya, Onah, yang sama seperti dia dating dari desa yang jauh, yang namanya tak termuat dalam peta.
“Kenapa kamu berhenti tertawa, Ipah. Ayo tertawa,” Nyonya Putri berkata setengah membentak, sambil dengan lahap dan rakus melahap seiris demi siris semangkanya. Ipah pun tertawa. Terpaksa. Sangat terpaksa. Nyonya Putri pun tertawa berderai, sampai dadanya yang penuh lemak itu terguncang-guncang.
Nyonya Putri beranjak dari meja makan yang penuh sisa kulit semangka. Dua butir semangka besar itu nyaris habis dilahapnya. Tinggal tersisa seiris semangka yang tergolek merangsang di sebeleh pisau berkilat.
“Siapa pun tak berhak memakannya. Masukkan ke kulkas,” ujar Nyonya Putri. Ipah bergegas membuka pintu kulkas, memasukkan seiris semangka sisa.
“Besok beli semangka yang lebih gede. Ingat, tanpa biji!”
Ipah mengangguk.
“O, ya. Dimana Onah? Sejak pagi kok tidak kelihatan?”
“Sedang tiduran, habis belanja tadi pagi. Katanya pusing, perutnya juga mual. Beberapa kali dia muntah. Wajahnya sedikit pucat. Saya sudah sarankan ke dokter.”
“Tak perlu ke dokter segala. Boros. Siapa tahu dia sedang hamil. Iya kan, hamil kan?!” Nyonya Putri tertawa terbahak-bahak. Mendadak tawa itu terhenti, “Kenapa kamu tidak tertawa? Tidak lucu, ya?”
“Lucu… Lucu sekali,” Ipah pun tertawa cakikikan. Tapi, matanya basah.
“Dengan siapa ia hamil? Paimin? Joko? Atau Jarot?”
Ipah menggeleng, sambil menarik paksa bibirnya untuk tertawa.
“Kenapa kamu tertawa? Bukankah aku belum mengizinkan? Lancang!” bentak Nyonya Putri sambil masuk kamar. Wajah Ipah memerah diguyur perasaan takut dan malu.
Di sel yang pengap itu Ipah membasuh wajahnya dengan kucuran air kran di sel. Kesegaran merayapi jutaan pori-pori wajahnya. Diliriknya seiris semangka yang masih tergolek di piring seng. Irisan semangka yang menyerupai bulan sabit itu terasa mengejeknya. Ipah bergegas mengambil dan membantingnya. Menginjak-injaknya sampai hancur. Kakinya basah oleh cipratan-cipratan air semangka. Ipah menjerit, tapi suaranya tak keluar. Kerongkongannya serasa tersekat. Wajah Ipah menegang. Ditendangnya piring seng. Gunungan nasi pecah menjadi butiran-butiran. Sayur kubis dengan kuah yang melimpah pun tumpah. Seekor ikan asin kecil mencuat, menghantam dinding sel. Ikan asin itu dipungutnya dan disumpah serapahinya.
“Ingat, aku juga bias memperlakukan kamu semauku! Kamu tak bias lagi memaksa aku tertawa. Kamu piker aku ini apa? Robot? Boneka? Atau mainan yang bias seenaknya kau tending kesana kemari? Iya? Ayo habisi semangka itu. Kalau tidak awas! Aku bias mencekikmu. Ayo makan Nyonya bawel yang gembrot!” Ipah menjejalkan serpihan daging semangka itu ke mulut ikan asin. Berulang kali, sampai kpala ikan asin itu remuk. Ipah tertawa. Keras, sangat keras. Derai tawanya itu membentur tembok sel.
“Jangan mengira aku ini tertawa karena kamu perintah, Nyonya Gembrot!” bentak Ipah sambil meremas-remas ikan asin. Namun, mendadak Ipah menangis. Meraung-raung. Suaranya yang parau itu mengepung, mengurung. Ia kembali teringat Onah.

“Kenapa kamu menangis Onah? Kamu hamil?” Tanya Ipah sambil mengelus-elus rambut Onah yang ikal. Onah masih terisak di peluakn Ipah.
“Katakan dengan siapa? Jarot? Paimin? Atau Joko?”
Tangis Onah makin keras. Kepalanya digeleng-gelengkan.
“Lantas siapa? Apa kamu punya pacar baru?”
“Onah menggeleng. Ipah mulai panic. Dadanya terasa sesak.
“Apa… apa… Juragan Kakung?” Ipah menduga-duga.
Tangis Onah mereda. Tangannya makin kuat memeluk Ipah.
“Benar… Juragan Kakung? Katakan Onah. Katakan!” desak Ipah.
Onah mengangguk. Anggukan kepala itu seperti membuat bengkak dada Ipah.
Ipah memeluk erat-erat bantalnya, sambil duduk meringkuk di atas tikar lusuh sel itu. Pandangannya menerawang. Tangis Onah masih berputar di telinganya. Meremas-remas ulu hatinya. Rasa nyeri mengebor sukmanya. Dengan lelah, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Piring seng. Nasi bertaburan. Kepala ikan asin yang remuk. Buah semangka yang hancur. Dinding sel yang kusam. Tangis Onah yang terus datang dan menghilang…

“Nyonya Putri marah-marah. Seiris semangka telah hilang. Kamu mengambilnya?” Ipah tergopoh-gopoh membangunkan Onah di kamarnya.
Wajah Onah ketakutan.
“Kamu mengambilnya?”
“Rasanya jabang bayi ini memaksa saya untuk memakannya,” ujar Onah lirih.
“Kamu kan tahu, di rumah ini kamu boleh makan apa saja, asal bukan semangka.”
“Kenapa? Bukankah hanya buah semangka?”
“Apa katamu? Hanya buah semangka? Hanya? Aduh Onah… Kamu kan tahu, bagi Nyonya Putri, buah semangka jauh lebih berharga daripada sebutir kepala kita…”
Ipah memandang seiris buah semangka yang remuk dan kini mengonggok di pojok sel. Dipungutnya buah itu. Juga kepala ikan asin yang remuk. Seiris buah semangka dan kepala ikan yang remuk alangkah mengenaskan, pikirnya.

Malam masih pekat. Kegelapan sedikit terurai oleh cahaya bulan sebulat semangka. Tidur Ipah dirampas oleh suara teriakan dan bentakan dari luar kamar. Dengan sisa kantuk yang masih melekat di matanya, ia bergegas ke sumber suara. Di antara bohlam lampu sepuluh watt, ia melihat sosok perempuan tinggi besar menyeret perempuan kurus. Dari jenis suaranya, Ipah segera mengenali Nyonya Putri yang sedang menggelandang Onah ke halaman belakang.
“Ipah! Pegang Dia!” ujar Nyonya Putri sambil mengacung-acungkan selonjor besi besar. Ipah gugup. Jantungnya berdegup sangat cepat. Wajahnya mengerut. Nyalinya pun ciut. Tapi, dengan terpaksa ia pun bersuara, “Ya… Nyonya…”
“Ke sini kamu. Kenapa hanya diam. Pegangi tangannya.”
Ipah masih berdiri membeku, disergap perasaan ragu. Tangis Onah terus berdesing di liang telinganya.
“Ayo pegang tangannya! Pegang!”
Dengan gemetar Ipah memegang tangan Onah.
“Pegang yang kuat, guoblok!!!” ujar Nyonya Putri sambil mengayunkan lonjoran besi seperti mengayunkan tongkat baseball memukul bola. Ayunan itu makin lama makin keras menghantam kepala Onah. Mata Ipah terpejam. Yang ia dengar hanyalah jeritan Onah yang berpacu dengan pukulan besi mengenai kepala. Crak… Crakk… Crakkk…
Ipah merasakan tangannya basah. Darah segar muncrat. Ipah tak kuasa menahan kepedihan hatinya. Ditubruknya kaki Nyonya Putri.
“Maafkan dia… Maafkan dia… Saya akan mengganti seiris semangka yang dia makan…” ujar Ipah mengiba.
Bulan bulat semangka pucat di angkasa.
“Untuk apa perempuan sundal ini dimaafkan?” ujar Nyonya Putri mengempaskan tubuh Ipah. Dengan garang ia kembali memburu Onah yang tak berdaya. Dengan bergairah ia mengayunkan pukulan demi pukulan ke kepala Onah.
“Hentikan Nyonya… Hentikan…” Ipah mencoba meraih lonjoran besi. Tapi, dengan sigap Nyonya Putri mengempaskan tangan Ipah. Ia kembali menghajar Onah dengan bergairah. Melihat Onah terpuruk tak berdaya, Nyonya Putri membuang lonjoran besi. Ipah mencoba menolong Onah, tapi dicegah.
Bulan bulat semangka murung dibungkus mendung.
Tawa Nyonya Putri berderai, “Kenapa kamu bungkam?”
Yang terdengar justru tangis Ipah.
“Tertawalah Ipah. Bukankah ini pemandangan yang indah?! Atau kamu ingin melihat pemandangan yang lebih seru lagi?” Nyonya Putri kembali menghajar.
Onah makin tak berdaya. Dari duburnya keluar tinja. Tawa Nyonya Putri pun kmbali berderai.
Bulan bulat semangka terpejam di angkasa.
Ipoah memeluk bantalnya, di atas tikar lusuh di sel yang pengap. Ia merasakan tak ada lagi denyut nadi dan detak jantung pada Onah. Bantal itu kemudian dibaringkan, diperlakukan seperti jasad. Dengan takzim Ipah melakukan upacara kecil, menguntai doa-doa panjang yang mengepung ruang perkabungan. Ipah menyesal tak bias ikut mengantarkan Onah ke pembaringan terakhir. Polisi menyeretnya. Menginterogasinya. Jaksa menjatuhkan dakwaan: Ipah ikut membantu penganiayaan sampai Onah tewas. Seluruh pembelannya ditolak. Majelis Hakim menjatuhkan hukuman baginya selama tiga tahun, potong masa penahanan. Sementara Nyonya Putri justru dibebaskan dari segala tuntutan. Ia dinyatakan menderita gangguan jiwa. Jiwa Ipah terguncang. Pandangannya menerawang. Terbayang lembar-lembar uang melayang-layang dan nyungsep ke kantong-kantong baju seragam.
Ipah tergeragap. Ia merasa mendengar tangis bayi. Tangis itu semula samara lalu jelas terdengar. “Apakah Onah telah melahirkan di kuburnya?” bisik Ipah sambil memeluk bantal. Tangis itu kembali terdengar, namun beberapa saat kemudian makin samara dan berubah menjadi suara sol sepatu. Tapi, suara itu tak membuatnya takut. Ia bangkit menyongsong kedatangan sipir penjara, yang bagai mesin menyorongkan piring seng. Ia pun tersenyum memandang gundukan nasi kecil, lengkap dengan sayur kubis hambar ditambah ikan asin kecil yang berenang-renang di atas kuah yang melimpah. Sejenak matanya terbelalak memandang seiris semangka yang tersandar di bibir gunungan nasi. Ia ganyang makanan itu dengan lahap. Selesai makan, ia menimang-nimang seiris semangka itu, lalu menaruhnya menjadi nisan, di atas bujuran bantal yang dibayangkan kuburan Onah….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar