Rabu, 13 Januari 2010

Kristal Kesunyian

Kemana malaikat-malaikat itu pergi pada hari Sabtu, ketika kota dihujani abu dan serbuk-serbuk kimia yang menimbulkan asap radio-aktif serupa jamur raksasa? Pertanyaan itu menggigil sunyi dalam keperihan hati perempuan itu, yang tak pernah lepas menatap reruntuhan bangunan di kota kecil yang dipeluk sebatang pantai, lengkap dengan langit biru, ratusan camar, pasir putih, dan matahari merah tembaga. Rambut blonde perempuan itu berkibaran tertiup angin senja yang mengabarkan berita dari negeri jauh. Jeritan handphone di sakunya membuyarkan lamunannya. "Aku pasti pulang, Dad. Tapi, tunggu dulu. Pemerintah di Negeri Angin ini sedang melakukan pencarian besar-besaran mayat-mayat yang tertimbun di reruntuhan bangunan. Doakan aku segera bisa menemukan mayat Kevin," ujar Stefany, perempuan itu dengan gusar.
Stefany menatap laut lepas, seolah memandang wajah ayahnya yang kini digulung kecemasan di Melbourne, menunggu kepastian mayat menantunya, Kevin. Ada rasa bersalah yang mendesak dada Stefany ketika ia ingat ucapan ayahnya, "untuk apa kalian honeymoon di Pulau Paredesi? Bukankah Melbourne juga punya banyak pantai yang indah?"
"Honeymoon di rumah sendiri? Alangkah tidak romantis, Dad. Kami butuh suasana yang eksotis, Dad. Dan, di Pulau Paredesi kami bisa menemukan surga," ujar Stefany sambil memeluk Kevin.
"Dad, satu-satunya makhluk yang tidak dapat dibunuh adalah kenangan. Dan, perkawinan tidak indah tanpa kenangan," Kevin menimpali.
"Ah, omonganmu seperti penyair romantik di abad pertengahan... Berangkatlah kalian. Semoga benar-benar menemukan surga," ayah Stefany tertawa, membuat gelambir-gelambir di lehernya terguncang-guncang.
Dada Stefany terguncang ketika tiba-tiba ada orang menyebut namanya.
"Hey... Iwan. Bagaimana kamu bisa menemukan aku di sini?"
"Diam-diam aku selalu mengikuti kamu. Aku cuma cemas saja..."
"Bagaimana perkembangannya?"
"Puji Tuhan. Tim evakuasi mayat telah menemukan mayat Kevin."
Mata Stefany mendadak berbinar seiring dengan senyumnya yang mekar. Ia jabat erat tangan sahabat barunya yang telah dikenalnya selama seminggu itu, karena ia menginap di hotel tempat Iwan bekerja. Namun, Stefany segera melepaskan. Ia merasakan kecanggungan menyergap Iwan.
"Iwan, kalau malaikat-malaikat itu tidak libur di hari Sabtu, pasti ledakan bom itu takkan terjadi. Dan, Kevin serta ratusan orang lainnya tidak mati..." mata Stefany sembab. Pandangan matanya mengirimkan pukulan-pukulan keras di rongga dada Iwan.
"Barangkali benar, malaikat-malaikat itu sedang tidak ada di sini, Stefany. Atau, iblis bergerak lebih cepat meledakkan bom. Ah, aku tidak tahu, Stefany. Bisa jadi semua ini takdir.." ujar Iwan sambil memancal pedal gas. Mobil berjalan sangat cepat, meninggalkan reruntuhan bangunan, meninggalkan aroma mayat.
"Takdir? Ini politik para monster dan gangster, Iwan." Isak tangis Stefany meledak, "Kenapa dalam soal beginian malaikat-malaikat itu tidak campur tangan menyelamatkan mereka yang tidak berdosa. Ya, setidaknya Tuhan kan bisa mengutus mereka untuk..."
Mobil Iwan terus melesat. Ketika melewati tikungan tajam, mobil itu sedikit oleng. Tubuh Iwan dan Stefany terguncang.
"Wan, atas nama kepentingan politik, maut bisa dipesan kepada siapa saja," Stefany menarik nafas dalam-dalam ketika mobil kembali tenang.
Mobil menyibak kerumunan orang-orang dan para wartawan. Berbagai perasaan yang campur aduk mendorong Iwan dan Stefany bergegas memasuki rumah sakit, menyusuri lorong-lorong, berpapasan dengan ledakan-ledakan tangis, berpapasan dengan kecemasan, sumpah serapah, dan kutukan.
Mayat-mayat itu menghitam serupa arang dalam kantung-kantung plastik. Stefany menjerit histeris ketika melihat tubuh arang Kevin. Ia peluk mayat arang itu kuat-kuat dalam ledakan tangis yang menyayat. Iwan mencoba menenangkan Stefany. Tapi, kedukaan yang jauh lebih kuat dari kesadaran membuat Stefany makin meronta.
"Kalian telah membunuh cinta kami!" jerit Stefany. Orang-orang, mungkin keluarga korban, memandang Stefany. Empat satpam rumah sakit bergegas menguasai keadaan dengan memaksa Stefany meninggalkan ruangan yang penuh aroma mayat. Stefany memberikan perlawanan sekuatnya. Tapi, empat satpam bertubuh gagah itu dengan cepat berhasil menyeret Stefany.
Stefany masih mencium keringat Kevin yang melekat di jaket jeans Kevin yang terus dikenakannya. Keringat itu masih menyimpan gairah asmara. Ketika bulan tersepuh perak menebarkan candu asmara di Kota Paredesi, gejolak Kevin untuk mengarungi setiap jengkal tubuh Stefany tengah menggelegak. Dirasuki serupa birahi remaja, Kevin bergairah menebarkan jala, meringkus Stefany dalam dekapan kehangatan. Udara sejuk pulau itu membimbing mereka menjadi remaja yang belajar mengenali lautan asmara. Sentuhan Kevin adalah sentuhan laki-laki pertama Stefany.

Sore itu, ketika mereka telah sampai di Pulau Paredesi setelah berikrar sehidup semati di depan altar, Stefany dan Kevin terlibat perbincangan yang hangat.
Stefany menatap mata Kevin yang tajam berkilau. Obrolan yang mengalir itu mampu membuka simpul-simpul saraf, membangkitkan berbagai kelenjar dalam tubuhnya. Kini kanal-kanal kelenjarnya itu begitu terbuka menciptakan arus aneh, yang ia sendiri tak mampu memberi nama, namun mampu merasakan kenikmatan yang jauh lebih dahsyat dari persetubuhan.
Kelenjar-kelenjar gairah itu bangkit membadai ketika mereka mereguk pelayaran asmara di suite yang mereka sewa. Mereka bergairah menciptakan malam-malam pengantin yang tak mungkin menguap dari tabung ingatan. Setelah pelayaran ke dasar samudra itu, yang ia rasakan hanyalah matanya basah. Basah karena haru bahagia merasuki relung hatinya.
"Kamu bahagia Stefany?"
"Bahagia. Sangat bahagia, sayang.."

"Cepatlah bangun Kevin. Toko-toko cendera mata keburu diburu pembeli. Bukanlah kamu akan mengalungkan manik-manik permata di leherku?"
"Berangkatlah dulu. Nanti aku menyusul. Aku masih ngantuk, dear."
Stefany bergegas meninggalkan kamar hotel setelah meninggalkan kecupan di pipi Kevin. Pagi itu ia akan memulai petualangan baru. Ia sama sekali tak menyangka, hotel itu kemudian dihajar bom. Tubuh Kevin menjelma menjadi bayangan.

Sambil meremas kalung manik-manik permata, Stefany menatap lekat-lekat tubuh suaminya serupa arang dalam kantung plastik. Perempuan bertubuh semampai itu, dengan sepasang mata biru yang digelayuti impian-impian pengantin, tak mampu lagi menangis. Seluruh kepedihannya telah mengkristal menjadi kesunyian.
"Kalian bisa membunuh Kevin, tapi tak akan bisa membunuh kenangan kami, " Stefany membatin dalam deru suara pesawat terbang yang membawa mayat Kevin ke Melbourne. Ia melihat puluhan malaikat menjaga mayat suaminya. Mereka menebarkan senyum kepadanya. Stefany ingin bertanya, kemana kalian pergi pada hari Sabtu, ketika kota dihujani abu, asap kimia, debu radio aktif yang mencabut ratusan nyawa? Kemana kalian? Tapi, kerongkongannya terasa tercekat, pita suaranya terasa terlipat. Stefany hanya memandang malaikat-malaikat dalam pesawat itu, lekat-lekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar